December 27, 2012

Kita Ada untuk Rencana Besar [*Like a Fairy Tale #3]

"Kenapa sih kegagalan rajin banget dateng?

Buat apa coba Tuhan nyiptain kita kalau pada akhirnya kita cuman terus-terusan diuji, bukan disayangi?"

"Tuhan nggak pernah adil! Kenapa orang yang sering banget sholat malah hidupnya tidak semudah orang-orang yang justru ibadah saja tidak tahu caranya?"



Sound's familiar? :)


Kalimat-kalimat di atas lumayan sering saya dengar dari beberapa kenalan. Anda pernah melontarkan juga? Wujud frustasi atau mungkin malah bentuk protes yang menumpuk dari makhluk kepada Tuhannya ini memang beragam cara dan kadarnya. Walaupun pada dasarnya kita bisa memilih untuk mengeluh atau mengambil hikmahnya. Seperti pada kisah nyata berikut ini.

Alkisah, lahirlah seorang anak laki-laki di sebuah kota kecil di pantai selatan Pulau Jawa. Dia merupakan bungsu dari lima bersaudara. Tanpa mendapat kasih sayang yang cukup dari seorang ibu, karena harus menyaksikan rumah tangga kedua orang tuanya retak saat usianya belum genap lima tahun. Lelaki ini tumbuh dalam keadaan yang serba susah.

Jangan lagi berbicara masalah pendidikan, kesehatan saja seperti hampir tak menempati tempat terbaik dalam hidupnya, sehingga asma telah menyerangnya semenjak kecil. Beruntung ayahnya adalah seorang pejuang yang tak kenal lelah. Sang ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita cantik, karena tak kuasa melihat kelima putra-putrinya itu hidup tanpa belaian seorang ibu.

Dari pernikahan yang kedua ini, sang ayah dikaruniai enam lagi. Jadilah keluarga ini semakin besar. Sementara itu, anak laki-laki ini tidak pernah mempermasalahkan segalanya. Dia hanya bisa menjalani kehidupan pahitnya dengan semangat tinggi. Hingga tiba suatu malam dia bertekad untuk benar-benar menyelesaikan pendidikannya, setidaknya turut serta menyukseskan program pemerintah "Wajib Belajar Sembilan Tahun".

Jalannya tak semudah yang terlihat dalam cerita ini tentunya. Hingga akhirnya dengan susah payah. Himpitan finansial dan segala bumbu hidup, ia selesaikan juga SMA. Melebihi target Wajib Belajar Sembilan Tahun pemerintah. Dan tidak mungkin lagi melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ia sadar diri, bahwa kemampuan otaknya yang sedang-sedang saja akan sangat susah bersaing untuk mendapatkan beasiswa kuliah yang saat itu masih sangat langka.

Ia bulatkan niat untuk mencari pekerjaan kesana kemari. Serabutan ikut proyek sana sini dengan bantuan kenalan demi kenalan. Hingga akhirnya ia dapatkan juga status PNS melalui sebuah ujian. Jadilah ia PNS bergolongan rendah, karena hanya memakai ijazah SMA.

"Cukuplah. Setidaknya sudah tidak jadi beban lagi di keluarga," begitu pikirnya.

Hingga tiba suatu saat ia memutuskan untuk menikahi seorang pujaan hatinya. Keduanya bertemu karena sang pujaan, yang saat itu menjadi karyawan BUMN terbesar di bidang tambang marmer Tulungagung, menumpang (indekost) di sebuah rumah tetangganya. Singkat cerita mereka berdua memutuskan menikah setelah menjalani tiga sampai empat bulan masa penjajakan, yang saat ini lebih dikenal sebagai "pacaran" oleh anak-anak muda jaman sekarang.

Kehidupan mereka tidak bisa dikatakan membaik. Namun bukan juga terpuruk. Semenjak putra sulung mereka lahir, sang istri tidak bisa lagi melanjutkan pekerjaannya. Terpaksa harus ia tinggalkan itu.

Empat tahun kemudian, si sulung mendapatkan adik pertamanya, sebelum akhirnya menyusul si bungsu. Suami yang menjalankan tugasnya mengabdi sebagai PNS yang jujur, tidak mau ikut meraup "rejeki panas" yang konon sangat banyak di lingkungan yang katanya rawan korup ini, namun ia tetap memegang teguh prinsipnya.

Bahwa setiap makhluk bernyawa telah dijamin (rejekinya) oleh-Nya.

Tibalah suatu malam saat sang sulung yang memiliki prestasi sekolah yang brilian dari TK hingga SMP ini, mengalami masa-masa yang cukup berat ketika SMA. SMA memang dikenal sebagai tahapan dimana seseorang sedang mencari identitas, jalan, dan arah hidupnya. Sang Ayah paham benar keadaan ini. Dalam diam, ia mengikuti juga memantau sulungnya dengan bantuan istrinya. Benar, si sulung ini memang lebih sering bercerita kepada ibunya. Mungkin kebiasaan ini terbentuk semenjak kecil karena sang Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di siang hari. Kemudian ia habiskan untuk menjalankan organisasi Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia, induk organisasi olahraga catur Indonesia di bawah KONI) di malam harinya.

Saat si sulung seperti menemui jalan yang bercabang dan penuh dengan terowongan gelap, sang Ayah hadir mencoba meraba kebimbangan putranya ini.

"Le...dulu Ayah sempat diskusi sama Bundamu tentang kelahiranmu.
Kami sepakat bahwa kami merindukan seorang putra, bukan putri, sebagai sulung, agar nantinya bisa menjaga Bunda pas Ayah kerja.
Dan bisa jadi teladan buat adik-adiknya kelak.
Alhamdulillah Yang Kuasa mendengar dan sulung Ayah ini benar-benar laki-laki.

Ayah selalu punya impian.
Dan yang namanya impian itu harus BESAR!
Kenapa? Kalau hal-hal kecil itu tak perlu kita impikan, tapi harus dilakukan!
Sedangkan untuk impian, kita harus menaruh hal-hal besar di dalamnya.

Salah satu hal besar itu adalah.........
*sembari menepuk pundak sulungnya*
menyaksikan kamu meraih apa yang Ayah tak dapat lakukan, sekolah hingga sarjana!

Bukan, bukan titel.
Tetapi Ayah selalu percaya, bahwa dengan jenjang yang lebih tinggi kamu akan punya kesempatan lebih untuk berbuat lebih kepada lebih banyak orang.
Kelak jika memang Sang Kuasa mengijinkan, Ayah ingin lihat kamu pakai toga namun sebelumnya telah mampu memberi dampak atau minimal sekedar inspirasi bagi sekitarmu.

Maka saat itulah salah satu dari sekian impian Ayah akan terbayar lunas melalui tanganmu.

Dan Ayah yakin, meskipun hari ini kamu gagal SPMB dan USM STAN, pasti Tuhan punya rencana lain yang lebih besar buat kamu juga buat kita sekeluarga."

Senyum sang Ayah menutup kalimat demi kalimat sakti tersebut. Malam itu, rasanya Zeus sedang mengobral petir. Berkali-kali hati anak lelaki itu bergetar dan membuat mata juga hatinya terbelalak.
Tidak ada lagi pesimis.
Tidak ada lagi terpuruk.
Bahkan ia berjanji, tidak akan ada lagi keluhan bahkan tangisan keluarga dalam menghadapi hidup ini.

Malam itu juga dia menyadari betapa kehadirannya di dunia ini, bukan tanpa alasan. Sebelum lebih jauh memandang sisi relijius, ia tersentak ketika paham bahwa setidaknya dia dinanti dan diharapkan oleh Ayahnya untuk sebuah tujuan yang besar. Bukan lagi sekedar titel sarjana, tidak hanya menjaga Sang Ibu, bukan cuma menjadi contoh bagi adik-adiknya.

Lebih jauh dari itu. Yakni bisa memberi dampak besar dan inspirasi bagi sekitarnya.

Bisa kita bayangkan.
Betapa setiap bayi lahir ini sudah "menanggung" impian dan harapan besar, minimal bagi orang tuanya.
Dan setidaknya hanya untuk level keluarganya.

Pada akhirnya, perlu kita sadari dan pahami bahwa kita diciptakan untuk sebuah alasan besarDia tidak mungkin menciptakan segala sesuatunya tanpa sebuah rencana besar. Karena Dia-lah sebaik-baik perencana dan pengarah alam semesta.


God is the Best Director.



Jadi, masih bertanya-tanya tentang "mengapa Tuhan melakukan ini pada saya....?"
:)




*tulisan ini masih dalam rangkaian catatan akhir kampus "Like A Fairy Tale"

episode kali ini didedikasikan khusus untuk Ayah Juara Satu sedunia...
semoga ini benar-benar telah turut melunasi impiannya :)

1 comment:

  1. :') hmm.. boleh saya kenalan dengan putra dari bapak yang diceritakan?

    ditunggu tulisan2 berikutnya :)

    ReplyDelete