July 10, 2014

Evolusi Sexinya Lineup Jerman

Penggila bola dunia mungkin masih tercengang dengan tersingkirnya Sang Juara Bertahan, Spanyol secara prematur. Italia, Inggris, dan Protugal pun menyusul dengan cepat. Euforia Brazil 2014 seketika menghentak daratan Benua Amerika kala bagan 16 besar didominasi oleh Timnas dari benua ini (8 dari 16). Namun petaka bagi sepakbola Amerika hadir kala Brazil dilumat bulat-bulat oleh Timnas Jerman. Der Panzer seakan mengacungkan jari tengah kepada sepakbola Brazil yang disebut-sebut selalu tak pernah kehabisan stok pemain hebat dalam sepanjang sejarah sepakbolanya.

Bolehlah kita rayakan gegap gempita 7 gol yang bersarang di gawang Julio Cesar tadi malam dan mari berfokus kepada apa yang Juninho Pernambucano (mantan gelandang andalan Selecao) katakan pada media, "Jerman sedang mengajari kami bermain bola. Itulah permainan yang selalu ingin kami mainkan." Benar bahwa kekuatan Jerman ada pada kualitas tim yang dibangun di bawah tangan dingin Joachim Loew.

Peremajaan Tim
Jerman mulai mengubah wajah Timnas mereka saat Juergen Klinsmann didaulat memimpin staf kepelatihan dengan Joachim Loew sebagai pendamping setianya. Kala itu bertaburan pemain-pemain muda semacam Phillip Lahm, Bastian Schweinsteiger, Per Mertesacker, Lucas Podolski mendampingi nama-nama senior seperti Oliver Kahn, Michael Ballack, Oliver Neuville. Bahkan Klinsmann berani melepas ban kapten dari tangan Kahn kepada Ballack yang lebih muda.

Talenta-talenta muda Jerman terus bermunculan dan diberikan ruang yang luas agar mereka tampil di muka dunia. Hingga akhirnya Joachim Loew resmi menggantikan Klinsmann yang mengundurkan diri pasca World Cup 2006. Regenerasi Jerman terus berlanjut bak amuba. Pada gelaran Piala Dunia Afrika Selatan 2010 lalu, mereka sukses mencetak rekor sebagai tim dengan rataan usia termuda, yakni 24,7 tahun!

Joachim Loew secara intens memantau talenta-talenta muda Jerman yang bermain di Bundesliga maupun di liga eropa lainnya. Dengan dukungan sistem pesepakbolaan Jerman yang menawan serta prestasi klub-klub Jerman di Liga Champions eropa dalam kurun lima tahun ke belakang, Loew mewujudkan Timnas impiannya.

Evolusi Lineup Jerman
Jerman datang ke Brazil dengan kekuatan penuh. Meski salah satu andalan mereka, Marco Reus, masih dibekap cedera, Loew masih punya (terlalu) banyak pilihan untuk mengisi skuat 4-3-3 gubahannya. Melalui berbagai pertimbangan dan penerawangannya, maka jadilah starting lineup pada laga perdana saat menantang Portugal sebagai berikut:

Lineup Jerman vs Portugal: 4-3-3
Hal janggal yang terjadi adalah keberanian Loew memaksa Phillip Lahm meninggalkan posisi favoritnya di bek sayap kanan menjadi seorang jangkar di lapangan tengah yang bertugas melindungi keempat bek. Posisinya sebagai DMF (Defensive Midfielder) diapit oleh dua gelandang kreatif: Toni Kroos sebagai Deep Lying Playmaker dan Sami Kheidira yang menjalani peran box-to-box.

Duet Hummels-Mertesacker menjadi pilihan utama sebagai garda terakhir Jerman sebelum pemirsa menyaksikan kehebatan Manuel Neuer dalam menghalau berbagai macam serangan. Jerome Boateng di kanan dan Benedikt Howedes di kiri menjadi faktor pelengkap kekuatan lini belakang Jerman. Keduanya tidak hanya cukup efektif mematikan serangan sayap dari lawan, namun juga aktif mensuplai bola ke tengah, ke depan, bahkan ke kotak penalti lawan.

Di barisan depan Loew nyaris tak menempatkan striker ataupun seorang poacher sejati. Pilihan Loew jatuh pada sang wonderkid, Thomas Mueller, dengan menempatkan salah satu false nine terbaik dunia ini di tengah. Didukung Mario Gotze dan Mesut Ozil yang setia melayani di kanan dan kiri. Ketiganya memang bukan tipikal target-man ataupun predator, namun format tiga pemain depan Jerman ini tak bisa disamakan dengan yang dilakukan oleh Vicente Del Bosque pada Spanyol di World Cup 2010 dan Euro 2012.

Portugal menjadi bukti keganasan Jerman dalam bermain sebagai tim. Aliran bola dan kedewasaan mereka dalam bermain seakan menegaskan kepada dunia bahwa lawan mereka, Portugal, memang hanya bergantung pada seorang Cristiano Ronaldo saja. Lahm, Kheidira, Boateng secara bergantian sukses membuat permainan Ronaldo tak banyak berkembang.

Sementara Toni Kroos muncul bak dirigent dengan tongkat di tangan kanannya, memimpin segala pergerakan Jerman yang memukau dengan memanjakan seluruh pemain di depan gawang melalui umpan-umpan terukurnya. Pada laga itu, whoscored.com mencatat akurasi passing Kroos ada pada angka 96%! Dia memimpin catatan passing rekan-rekannya, praktis hanya Hummels, Boateng, dan Mueller saja yang berada di bawah 90%. Mengesankan.

Di depan, Mueller memulai aksi terornya dengan raihan hattrick-nya. Jika dilihat dari prosesi golnya (di luar tendangan penalti), tampak kelebihannya sebagai false nine yang dapat mengadaptasi peran poacher dan target-man yang mematikan. Dia selalu ada pada posisi yang tepat dan pandai membuka bahkan menyusun ruang sendiri. Jika mendapat peluang sekecil apapun, bang! bola tiba-tiba telah mengarah ke gawang. Di sinilah letak perbedaan Mueller dengan pemain depan lainnya.

Loew Membaca Pertandingan
Menghadapi Ghana, Jerman kembali menurunkan skuad yang sama saat menghancurkan Portugal. Kali ini lawan yang mereka hadapi lebih kuat secara kualitas pertahanan dan penyerangan. Secara statistik, Jerman unggul 62% dalam ball possession akan tetapi Ghana selalu mampu membuat panik pertahanan Jerman hanya dalam satu-dua serangan balik taktis.

Pergantian Boateng ke Mustafi mungkin menjadi misteri bagi sebagian orang, mengingat sektor kiri yang dijaga Howedes jauh lebih sering dihujam daripada sisi kanan. Rupanya Loew lebih melihat betapa bahayanya Andre Ayew yang mengkomandoi serangan Ghana dari sisi kanan Jerman.

Di sisi lain, lini tengah Jerman tampak lebih minim kreasi daripada pertandingan sebelumnya. Praktis hanya Kroos yang masih sangat menojol dengan raihan pass accuracy (lagi-lagi) di atas angka 90%. Namun itu tak cukup membantu Jerman menerobos lini tengah dan belakang Ghana. Memang Gotze berhasil mencetak gol, namun melihat begitu susah payahnya lapangan tengah dan barisan depan Jerman menembus Ghana, Loew mengambil langkah sigap. Dia turunkan Schweinsteiger sebagai partner duet Kroos menggantikan Kheidira yang tampil under perform lalu memasukkan seorang target-man dan predator sejati bernama Miroslav Klose untuk menggantikan Gotze.

Dengan konfigurasi ini, praktis Mueller ditarik ke sisi kiri dengan Ozil di kanan untuk mengapit Klose yang dibiarkan di tengah. Pada posisi ini Ghana yang sebelumnya benar-benar bekerja ekstra mematikan Mueller harus mengubah pola dengan mematikan Klose. Namun sayangnya, posisi ini justru membuat Mueller bergerak bebas bergantian melapisi Kroos di kiri, sehingga barisan belakang Ghana tampak mulai terpecah. Bahkan permutasi pergerakan Mueller dan Ozil sangat susah ditebak hingga akhirnya Klose memanfaatkan situasi kritis barisan belakang Ghana ini dengan sebuah gol mudah yang mengantarkannya menyamai rekor Ronaldo Luiz Nazario da Lima sebagai pencetak gol terbanyak dalam sejarah Piala Dunia.

Loew Melawan Sang Guru
Melihat suksesnya percobaan lini tengah Jerman saat membongkar Ghana, di pertandingan puncak melawan Amerika Serikat, Loew memasang duo creator Kroos dan Schweni secara bersamaan di starting lineup. Posisi Gotze digantikan Podolski tanpa alasan yang jelas. Pertandingan berjalan alot. Ketatnya lini tengah, memang bukan kejutan, mengingat arsitek Amerika saat ini adalah partner sekaligus mentor Loew sendiri, Jurgen Klinsmann.

Kesulitan mereka membongkar pertahanan Amerika dijawab dengan tegas oleh Loew dengan menurunkan 4 penyerang sekaligus dengan tambahan Klose, Schurrle, dan Gotze menemani Mueller lalu menarik keluar Podolski, Ozil, dan Schweni.

Uniknya, lini tengah Jerman masih berkuasa. Namun meski menguasai bola 67%, Jerman hanya mampu mengonversi satu gol melalui kaki wonderkid-nya, Thomas Mueller.

Adaptasi Posisi
Loew seakan membuktikan bahwa dirinya memang peracik strategi yang cerdas. Menghadapi kuda hitam Aljazair, Jerman turun dalam skema dasar 4-3-3. Bedanya, Hummels yang mengalami cedera ringan digantikan Boateng di tengah untuk berduet dengan Mertesacker. Sementara Mustafi dan Howedes melapisi sisi luar lapangan. Lahm masih dipercaya menjadi jangkar dengan sokongan determinasi tinggi dari Kross dan Schweni. Lalu di depan, nama Gotze muncul kembali.

Babak pertama seakan memberi kabar buruk bagi Jerman, bahwa 4-2-3-1 yang diterapkan Aljazair begitu rapi menahan gempuran. Sadar bahwa Gotze bukan tipikal striker sejati, Loew memasukkan Schurrle dan menggeser Mueller ke kiri sejak awal babak kedua. 70 menit tanpa hasil yang maksimal, Loew berniat menguatkan sektor tengah dengan memasukkan Kheidira menggantikan Mustafi lalu mengembalikan Lahm pada posisi terbaiknya: bek sayap kanan.

Dua menit babak perpanjangan waktu berjalan, strategi ini membuahkan gol indah dari Schurrle memanfaatkan umpan manis Mueller. Demi alasan penyegaran, Christoph Kramer diturunkan melapis Schweni. Hasilnya Ozil membayar kritikan penggemarnya dengan satu gol mudah memanfaatkan kelengahan lini belakang Aljazair yang mulai goyah pasca gol pertama.

Jerman akhirnya menang dengan susah payah dan ini memberi pelajaran berharga kepada Loew  tentang format terbaik skuadnya untuk kompetisi kali ini. Setidaknya ada tiga poin penting:

1. Sang Kapten Lahm yang memang bisa dimainkan di posisi gelandang, akan jauh lebih efektif saat dia dipasang pada posisi alaminya sebagai full-back kanan. Performanya jauh lebih menjanjikan daripada Boateng, meski Boateng pun nyaman di posisi itu. Kemampuan dasar Boateng sebagai tembok memberi Loew pilihan yang lebih luas untuk menurunkannya, Hummels, ataupun Mertesacker di jantung utama.

2. Kreativitas lini tengah Jerman memang sangat bertumpu kepada kejeniusan Toni Kross. Namun akan jauh lebih mematikan saat dia ditopang oleh gelandang cerdas dengan determinasi tinggi sekelas Schweinsteiger. Kolaborasi mereka sangat maksimal terlebih jika Kheidira ditancapkan sebagai jangkar di tengah untuk melindungi kuartet bek.

3. Saat butuh keunggulan cepat, konfigurasi lini depan Jerman lebih efektif jika diisi oleh satu poacher yang diapit duo false-nine atau wing yang memiliki naluri cutting inside tinggi. Sebagai informasi, Jerman hanya membawa dua poacher ke Brazil: Klose dan Schurrle.

Permainan Tim yang Sesungguhnya
Pelajaran manis dari babak penyisihan hingga 16 besar membuat Jerman tampak lebih matang dalam penyusunan skuad saat menghadapi Perancis. 3 aktor penting lini tengah Jerman: Kross-Kheidira-Schweni tampil bersamaan memanjakan Mueller-Klose-Ozil. Duet Hummels-Boateng menjadi pilihan Loew saat Mertesacker dalam kondisi kurang fit.


Sepanjang 11 menit awal, jual-beli serangan begitu mendebarkan terjadi. Namun setelah gol Hummels yang memanfaatkan set-piece Kroos terjadi, terlihat benar perbedaan kelas permainan kedua tim. Kedalaman skuad Perancis memang tak bisa dipandang remeh, akan tetapi Didier Deschamps seakan kesulitan menemukan rumus yang tepat untuk menyerang gawang Neuer. Mereka seperti memainkan sepakbola oportunis dengan memanfaatkan segala situasi, nyaris tanpa pola serangan yang jelas. Lini tengah yang digalang Matuidi-Cabaye-Pogba justru tampil antiklimaks dihadapan trio Jerman. Perancis seperti didikte.

Babak kedua berjalan tak jauh beda, hanya saja kelengahan lini belakang dan sektor kiri pertahanan Jerman selalu sering dimanfaatkan Perancis untuk mendulang peluang demi peluang. Hal ini membuat Neuer tampil bak pahlawan dengan seribu tangan. Puncaknya saat peluang emas Benzema di penghujung pertandingan dengan mudahnya ditangkis hanya dengan satu tangan Neuer. Dalam tayangan ulang tampak senyum dan gelengan kepala Benzema menyiratkan sebuah kekaguman sekaligus kekesalan mendalam atas performa Neuer yang seperti selalu tahu kemana arah bola.

Satu gol Hummels, dua blok, dan beberapa kali penyelamatan krusial mengantarkan Mats Hummels meraih gelar man of the match malam itu.

Garansi Tiket Final dan Validasi Kualitas
Hampir seluruh pengamat memastikan bahwa Brazil adalah ujian kualitas Jerman yang sesungguhnya di turnamen ini. Namun sayang, Brazil seakan menjamu Jerman dengan setengah kekuatannya. Pengaruh Neymar dan kepemimpinan Thiago Silva terlalu dominan dalam permainan Brazil tahun ini, sehingga saat keduanya tak bisa turun lapangan (Neymar mengalami cedera punggung, Silva terkena akumulasi kartu kuning) ada lubang besar yang menganga di kubu Brasilero.


Sedangkan Jerman hadir dengan kekuatan penuh. Bedanya, Loew sedikit memodifikasi 4-3-3 favoritnya menjadi skema modern 4-2-3-1, dengan Kheidira dan Schweinsteiger sebagai double pivot pengalir bola sekaligus pelindung bagi kuartet bek Lahm-Boateng-Hummels-Howedes. Sang calon legenda, Klose, seakan diberikan kesempatan untuk memecahkan rekor Ronaldo dengan memasangnya sebagai target-man. Sementara Kroos didaulat menjadi playmaker dengan diapit Ozil dan Mueller.

Lineup Jerman vs Brazil: 4-2-3-1

Ketimpangan benar-benar terjadi saat Brazil yang terlalu mengagungkan Oscar sebagai otak permainan, harus rela menyaksikannya tak berkutik di hadapan Schweni maupun Kheidira. Di sisi lain, Kroos dan Mueller sukses membuat duet baru Dante-David Luiz kerja rodi. Alhasil Mueller, dengan keahlian naturalnya: penempatan posisi (right man in the right place), menghukum kelalaian barisan belakang Brazil lewat first-time-kick yang mulus.

Berselang dua belas menit kemudian, giliran Mueller menjalankan tugasnya melayani Klose dengan sebuah assist. Meski sempat diblok, Klose membuktikan bahwa nalurinya sebagai mesin gol tak pernah surut walau telah senja. Satu gol bersejarah yang mengantarkan Klose mengalahkan rekor Ronaldo sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah World Cup. Yang jauh lebih mengesankan adalah, Klose tidak hanya mengalahkan Ronaldo, tetapi juga mengalahkan negaranya Ronaldo di tanahnya sendiri. Perfecto!

Setelah dua gol bersarang, pertahanan Brazil tampak terbuka lebar sehingga mengijinkan Kroos mencatatkan namanya dua kali di papan skor dan dilengkapi dengan gol mudah oleh Kheidira. Keempat gol tadi menegaskan bahwa Jerman benar-benar bermain sebagai tim. Assist dari kaki ke kaki yang tenang, hilangnya keegoisan mencetak gol, hingga kerja sama menawan mereka di mulut gawang yang membuat keempat bek Brazil tampak makan gaji buta. Itu semua telah sukses mengantarkan Julio Cesar pada tingkat kerinduan yang tinggi akan hadirnya sosok Thiago Silva di depan gawangnya.

Pertandingan benar-benar berakhir dalam satu babak. Tak banyak rotasi yang dilakukan Loew di sisa waktu. Hanya penyegaran stamina saja. Seluruh pemain Jerman seakan sudah khatam membaca pola permainan Brazil, sama seperti Neuer yang tak pernah tampak kesulitan menghalau setiap ancaman.

Malam itu Jerman bak etalase keindahan sepakbola sesuai dengan kodratnya: permainan tim. Akankah tahun ini menjadi saksi penambahan satu bintang di logo Die Mannschaft?

"Brazil have Neymar. Argentina have Messi. Portugal have Ronaldo. Germany have a team".

No comments:

Post a Comment