May 23, 2013

Yuk Belajar dari Spanyol dan Jerman!

Dalam perhelatan akbar UEFA Champions League (UCL) tahun ini, kita dapat saksikan dominasi dua negara adidaya dalam sepakbola modern: Spanyol dan Jerman.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Inggris, Italia, bahkan Brazil juga Argentina,
rasanya tak berlebihan jika kita mengedepankan Spanyol dan Jerman sebagai penantang serius tahta kekaisaran sepakbola dunia masa kini.


Empat besar UCL 2013 menjadi lampu kuning paling megah bagi siapa saja yang masih memakai kacamata kuda untuk menasbihkan Liga Inggris dan Liga Italia sebagai Liga Terbaik Eropa. Sejenak lupakan strategi menawan Dortmund yang membuat Mourinho menjadi lebih pendiam di pinggir lapangan.

Tahan dulu pujian menggunung pada Munchen yang sanggup robohkan tirani tiki taka yang selama ini membuat semua lawan Barcelona tampak bodoh dan dipermainkan. Jauh dari itu, kita perlu simak bagaimana pembinaan sepakbola di dua negara tersebut.

Spanyol punya dua akademi legendaris. La Masia yang menjadi supplier darah muda Blaugrana,
dan Madrid Castilla tempat talenta muda Madrid dibina.

Castilla mungkin kalah mentereng jika dibanding La Masia, tetapi jika berkaca pada era 1980-an, gelar La Liga lima kali beruntun berhasil disumbangkan oleh para alumni Castilla yang menjadi aktor sentral. Sebut saja Miguel Pardeza, Varguez, Sanchis, bahkan sang Legenda, Emilio Butragueno. Dewasa ini kita hanya mengenal Raul Gonzales, Casillas, dan Guti Hernandez saja yang sukses menyandang gelar alumni Castilla yang bersinar di timnya sendiri. Praktis semenjak Florentino Perez mencanangkan proyek prestisius bernama Los Galacticos, Madrid lebih memilih untuk memamerkan kekuatan finansialnya dengan mendatangkan Luis Figo, Zizou Zidane, Ronaldo, Nistelrooy, hingga sang Fenomena Sepakbola Modern: David Beckham.

Alhasil, alumnus Castilla kesulitan menembus timnya sendiri. Maka jangan heran jika kapabilitas Juan Mata, Javi Garcia, Roberto Soldado, hingga Arbeloa justru dipanen oleh tim luar.

Di sisi lain, La Masia lahir dari visi besar Johan Cruyff di era 70-an. Mengacu pada akademi Ajax Amsterdam, tempat Cruyff mulai belajar, La Masia menerapkan sistem asrama untuk pendidikan sepak bola tanpa meninggalkan kewajiban sekolah formal. Dari akademi ini pula filosofi Total Football dengan sentuhan Tiki Taka ditanamkan sejak dini. Pemain didikan La Massia pun dibentuk agar tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati dan tangguh baik di dalam maupun luar lapangan.

Panen raya La Masia yang paling fenomenal adalah saat Cruyff membangun tim impiannya ini dan menyabet trofi La Liga empat kali beruntun sepanjang 1991-1994. Dimana ada nama Joseph (Pep) Guardiola dalam jajaran skuat tersebut. Nama besar La Masia semakin terang benderang karena keberanian manajemen mereka memberi kesempatan alumnusnya untuk menunjukkan kapabilitasnya di tim senior.

Sementara Jerman justru membangun sepak bolanya melalui serangkaian proses yang panjang dan mengerahkan banyak sumber daya. Timnas Jerman, yang berjaya di era 90-an dan Euro 1996, mendadak mengalami kehancuran saat perhelatan World Cup 98. Bahkan Euro 2000 mencatatkan nama Der Panzer di dasar klasemen fase grup. Kegagalan di dua turnamen besar tersebut membuat Deutcher Fussball-Bund (DFB, PSSI-nya Jerman) tidak tinggal diam. Mereka mulai menyusun perubahan-perubahan besar, terutama dalam hal regenerasi dan pembinaan pemain muda.

Pada World Cup 2002, Timnas Jerman mulai meremajakan timnya dengan bertumpu pada Sang Calon Legenda: Michael Ballack. Pada tahun 2002 itu pula DFB menerbitkan blue print pembinaan pemain muda yang melibatkan banyak pihak. Akademi sepak bola didirikan, kompetisi regional, amatir, dan liga profesional ditata, bahkan mengajak universitas-universitas untuk bersama-sama mengembangkan riset yang bermanfaat bagi perkembangan sepak bola.

DFB juga mendirikan 121 pusat sepak bola nasional untuk membangun anak-anak 10-17 tahun. Konon dana 15,6 juta dollar (Amerika) digelontorkan oleh DFB per akademi. DFB juga mewajibkan 36 klub yang bermain di Bundesliga 1 dan 2 memiliki akademi mandiri, sebagai syarat kepesertaan mereka di dua kasta tertinggi Bundesliga tersebut. Setiap akademi harus memiliki setidaknya 12 pemain di setiap kelompok umur, sesuai jenjang tingkatan usia Timnas Jerman. Tak heran jika Timnas U-17, U-19, U-21, hingga U-23 Jerman merajai Eropa.

DFB juga mampu mengajukan revisi UU Imigrasi Jerman yang memungkinkan anak muda imigran memperoleh kemudahan dalam mendapat paspor Jerman. Tak heran jika Mesut Ozil, Jerome Boateng, dan anak muda lain yang memiliki garis keturunan luar Jerman bisa bergabung dengan Tim Panser. Ajang Euro U-21 menjadi saksi lahirnya tulang punggung Timnas Jerman senior masa kini.
Saat itu Thomas Mueller, Ozil, Manuel Neuer, Sami Kheidira, dan Boateng menjadi tumpuan dalam merengkuh Trofi Euro U-21 2009.

Maka jangan heran jika di Afsel 2010, Jerman mencetak rekor sebagai tim dengan rata-rata usia pemain termuda sepanjang sejarah Piala Dunia, yakni 24,7 tahun. Buahnya, Bundesliga menjadi salah satu Liga Elite yang paling ramah terhadap pemain lokal. Maka, kini Joachim Loew bisa leluasa memilih pemain untuk membentuk Timnas idamannya karena 62 persen pemain yang beredar di Bundesliga adalah produk lokal.

Keberhasilan Spanyol dan Jerman membangun Timnasnya dilalui dalam serangkaian proses yang panjang. Andai Kemenpora dan PSSI mampu bersabar dan mau menendang jauh-jauh mafia serta ego politisnya, bukan tidak mungkin dalam 10 mendatang kita bisa menyaksikan Timnas kita bangkit.
Setidaknya bisa meraih kembali supremasinya di Asia Tenggara.

Dear PSSI dan Kemenpora, yuk kita belajar dari Spanyol dan Jerman... ;)

No comments:

Post a Comment