Jakarta Marathon 2022. Sesuai namanya, ini adalah event lari jarak jauh yang Jakarta banget. Start-Finish di jantung Ibu Kota Negara. Membelah padatnya lalu lintas megapolitan. Menghindari cekungan-cekungan bahu jalan akibat pembangunan. Melompati genangan sisa derasnya hujan semalam. Memeras kesabaran dalam berbagi jalan dengan pengendara yang tak rela jalurnya berkurang setengah hingga dua pertiga. Menguatkan otot-otot pernapasan agar seoptimal mungkin menghirup oksigen yang beradu dengan kepulan asap emisi karbon. Menahan sengatan terik matahari di atas kepala yang kemudian dipantulkan kembali panasnya melalui aspal di bawah sepatu.
Berangkat
dengan ekspektasi tinggi akan membuat anda patah hati sejak penutupan
pendaftaran event. Semakin mendekati hari-H, penyelenggara semakin
menunjukkan hal-hal absurd yang memperbesar goyahnya hati. Bagaimana
tidak, event lari dengan membawa nama besar Jakarta ini, sampai
dengan hari penyelenggaraan tak kunjung mendapatkan sponsor utama. Tidak
seperti event lari dengan nama besar lainnya yang rajin “memanaskan” dan
membangun antusiame peserta menuju hari-H, admin akun IG Jakarta Marathon malah
sunyi senyap seperti website resminya yang nyaris tanpa update. Sekalinya
update di feed IG, eh si panitia (entah jabatan beliau ini
apa) malah ngasih tahu kalau beliau sedang di Jerman menyaksikan Eliud
Kipchoge memecahkan rekor dunia Full Marathon (02:01:09) di Berlin Marathon
2022. BUAT APA?
Website yang sunyi dan IG yang kolom
komentarnya dimatikan, menjadi satu-satunya kanal resmi penghubung antara
penyelenggara dengan peserta. Tetapi kenapa membisu? Apa hal yang tidak boleh
diketahui peserta? Bahkan beberapa influencer/selebrun rajin mengirim
kritik membangun, tetap saja tiada yang dianggap. Sulit untuk tidak setuju
dengan ungkapan Kang Asep Gumilar @maharrrrrrun: “angkuh sekali”.
Selepas
solat subuh dan peregangan secukupnya, mengayunkan langkah menuju venue menjadi
tahapan penuh was-was. Khawatir akan ada kejutan lain dari penyelenggara yang
selalu tak terduga.
Sambil
sekuat hati memaafkan kekonyolan race pack collection days, mata
langsung terpapar keunikan-keunikan venue. Tidak ada race clock di
gapura start/finish, tidak ada pengaturan keberangkatan sehingga terjadi
penumpukan pelari di garis mula (padahal waktu flag off per kelasnya sudah dibagi), dan yang paling
parah: jeda antara HM dan 10K hanya 15 menit padahal rute awalnya beririsan.
Course marshall namun tidak dengan penanda jarak dan arah. Harus rajin melirik sportwatch atau gawai untuk memeriksa jarak lalu mengandalkan mulut untuk bertanya perihal alur dan rute yang benar. Sekitar kilometer ke-13-an, sebuah spanduk menggelitik dibentangkan oleh salah satu komunitas lari bertuliskan “Let’s finish! You’ve paid for this!”.
Benar. Kita semua telah berjuang dengan aksi sesuai masing-masing porsi, berinvestasi
materi, menghamburkan durasi, hingga emosi dan energi agar paripurna dalam
berlari. Sangat naif rasanya jika sepanjang jalur hanya diisi umpatan dan
gerutu atas carut marut gelaran hajatan lari yang penuh kontroversi namun
selalu dirindui ini.
Brutalnya lalu lintas Jakarta sebenarnya tidak menjadi penghalang yang cukup berarti. Marshall plus petugas berwenang cukup oke menjaga kondisi. Musuh utama pelari tentu saja, teriknya matahari dan hawa panas yang aduhai sepanjang separuh jarak menuju finish line. Sedari awal memang bukan memecahkan personal best yang menjadi target di lomba kali ini. Cukup finish dengan bugar bahagia.
Alhamdulillah
otot-otot kaki
bersahabat hingga kilometer kedelapan belas. Saat arloji menunjuk angka 18.5
km, sekujur tubuh tiba-tiba diserang kekeringan macam kemarau setahun.
Heart
rate melompat jauh
mendekati 190. Ada yang tidak beres. Langkah mulai memendek, dua bungkus energy gel diteguk,
segelas isotonic drink
dihajar menyusul segelas air
mineral. Kalau ada kolam es, pasti nyebur juga dah ini. Empat
hingga lima menit agaknya terbuang melayang.
Napas dan
detak perlahan membaik, kaki perlahan diayun kembali. Earphone kanan
dipasang, Syeikh Mishary Rashid Al-Affasy mulai melantunkan Al-Kahfi. Tak sabar
melahap 2.5 km lagi. Di kilometer keduapuluh anak-anak dan istri sudah berjanji
menemani via video call menyelesaikan satu kilo terakhir agar riang
hati.
Masuk area
GBK. Gapura finish tampak menganga. Kemegahannya dirampok oleh race
clock yang tiada. Semakin mendekat, rupanya ada muslihat. Jalur
dibelokkan ke kanan ke kiri agar total jarak sesuai aturan. Sungguh ingin
mengeplak si pembuat lintasan.
Bayangan megah gapura finish semakin sirna ketika tak ada gegap gempita tercipta di sana. Hanya barisan fotografer lepas yang membantu mengabadikan momen. Tiada MC. Tiada penyanyi. Tiada hura-hura. Pengambilan medali dan refreshment harus ditempuh dalam jarak sekitar satu kilometer dari finish line. Mohon maaf nih, APA NGGAK KURANG JAUH?
Medali
menggantung di leher. Keringat mengalir di garis-garis wajah. Namun botol-botol
air mineral telah tiada di booth refreshment. “Sabar ya, Kak. Sedang reload”,
kata mas dan mbak berkaos biru dengan sablon “ask me” di punggungnya.
Bersyukur
pisang sunpride masih melimpah berkardus-kardus. Beberapa finisher yang
tak lagi mampu menahan dahaga harus rela scan QRIS atau gopay di booth
sponsor minuman demi sebotol isotonic. Sungguh komedi.
Setelah
puas berswafoto bersama kolega, tiba saatnya berpisah untuk kembali ke
kehidupan masing-masing dengan dua tekad yang sama bulatnya:
- Perbaiki performa lari melalui
latihan rutin yang lebih rajin; dan
- Tidak akan mengulangi
partisipasi jika organizer-nya sama dengan event ini.
No comments:
Post a Comment