October 22, 2022

(Half) Marathon Kedua: Jakarta Marathon 16 Oktober 2022

Jakarta Marathon 2022. Sesuai namanya, ini adalah event lari jarak jauh yang Jakarta banget. Start-Finish di jantung Ibu Kota Negara. Membelah padatnya lalu lintas megapolitan. Menghindari cekungan-cekungan bahu jalan akibat pembangunan. Melompati genangan sisa derasnya hujan semalam. Memeras kesabaran dalam berbagi jalan dengan pengendara yang tak rela jalurnya berkurang setengah hingga dua pertiga. Menguatkan   otot-otot   pernapasan    agar seoptimal mungkin menghirup oksigen yang beradu dengan kepulan asap emisi karbon. Menahan sengatan terik matahari di atas kepala yang kemudian dipantulkan kembali panasnya melalui aspal di bawah sepatu.

Berangkat dengan ekspektasi tinggi akan membuat anda patah hati sejak penutupan pendaftaran event. Semakin mendekati hari-H, penyelenggara semakin menunjukkan hal-hal absurd yang memperbesar goyahnya hati. Bagaimana tidak, event lari dengan membawa nama besar Jakarta ini, sampai dengan hari penyelenggaraan tak kunjung mendapatkan sponsor utama. Tidak seperti event lari dengan nama besar lainnya yang rajin “memanaskan” dan membangun antusiame peserta menuju hari-H, admin akun IG Jakarta Marathon malah sunyi senyap seperti website resminya yang nyaris tanpa update. Sekalinya update di feed IG, eh si panitia (entah jabatan beliau ini apa) malah ngasih tahu kalau beliau sedang di Jerman menyaksikan Eliud Kipchoge memecahkan rekor dunia Full Marathon (02:01:09) di Berlin Marathon 2022. BUAT APA?

Website yang sunyi dan IG yang kolom komentarnya dimatikan, menjadi satu-satunya kanal resmi penghubung antara penyelenggara dengan peserta. Tetapi kenapa membisu? Apa hal yang tidak boleh diketahui peserta? Bahkan beberapa influencer/selebrun rajin mengirim kritik membangun, tetap saja tiada yang dianggap. Sulit untuk tidak setuju dengan ungkapan Kang Asep Gumilar @maharrrrrrun: “angkuh sekali”.

Selepas solat subuh dan peregangan secukupnya, mengayunkan langkah menuju venue menjadi tahapan penuh was-was. Khawatir akan ada kejutan lain dari penyelenggara yang selalu tak terduga.

Sambil sekuat hati memaafkan kekonyolan race pack collection days, mata langsung terpapar keunikan-keunikan venue. Tidak ada race clock di gapura start/finish, tidak ada pengaturan keberangkatan sehingga terjadi penumpukan pelari di garis mula (padahal waktu flag off  per kelasnya sudah dibagi), dan yang paling parah: jeda antara HM dan 10K hanya 15 menit padahal rute awalnya beririsan.

Course marshall namun tidak dengan penanda jarak dan arah. Harus rajin melirik sportwatch atau gawai untuk memeriksa jarak lalu mengandalkan mulut untuk bertanya perihal alur dan rute yang benar. Sekitar kilometer ke-13-an, sebuah spanduk menggelitik dibentangkan oleh salah satu komunitas lari bertuliskan “Let’s finish! You’ve paid for this!”.

Benar. Kita semua telah berjuang dengan aksi sesuai masing-masing porsi, berinvestasi materi, menghamburkan durasi, hingga emosi dan energi agar paripurna dalam berlari. Sangat naif rasanya jika sepanjang jalur hanya diisi umpatan dan gerutu atas carut marut gelaran hajatan lari yang penuh kontroversi namun selalu dirindui ini.

Brutalnya lalu lintas Jakarta sebenarnya tidak menjadi penghalang yang cukup berarti. Marshall plus petugas berwenang cukup oke menjaga kondisi. Musuh utama pelari tentu saja, teriknya matahari dan  hawa panas yang aduhai sepanjang separuh jarak menuju finish line. Sedari awal memang bukan memecahkan personal best yang menjadi target di lomba kali ini. Cukup finish dengan bugar bahagia.

Alhamdulillah otot-otot kaki bersahabat hingga kilometer kedelapan belas. Saat arloji menunjuk angka 18.5 km, sekujur tubuh tiba-tiba diserang kekeringan macam kemarau setahun.

Heart rate melompat jauh mendekati 190. Ada yang tidak beres. Langkah mulai memendek, dua  bungkus energy gel  diteguk,  segelas  isotonic  drink   dihajar  menyusul segelas air mineral. Kalau ada kolam es, pasti nyebur juga dah ini. Empat hingga lima menit agaknya terbuang melayang.

Napas dan detak perlahan membaik, kaki perlahan diayun kembali. Earphone kanan dipasang, Syeikh Mishary Rashid Al-Affasy mulai melantunkan Al-Kahfi. Tak sabar melahap 2.5 km lagi. Di kilometer keduapuluh anak-anak dan istri sudah berjanji menemani via video call menyelesaikan satu kilo terakhir agar riang hati.

Masuk area GBK. Gapura finish tampak menganga. Kemegahannya dirampok oleh race clock yang tiada. Semakin mendekat, rupanya ada muslihat. Jalur dibelokkan ke kanan ke kiri agar total jarak sesuai aturan. Sungguh ingin mengeplak si pembuat lintasan.

Bayangan megah gapura finish semakin sirna ketika tak ada  gegap  gempita  tercipta  di  sana. Hanya barisan fotografer lepas yang membantu mengabadikan momen. Tiada MC. Tiada penyanyi. Tiada hura-hura. Pengambilan medali dan refreshment harus ditempuh dalam jarak sekitar satu kilometer dari finish line. Mohon maaf nih, APA NGGAK KURANG JAUH?

Medali menggantung di leher. Keringat mengalir di garis-garis wajah. Namun botol-botol air mineral telah tiada di booth refreshment. “Sabar ya, Kak. Sedang reload”, kata mas dan mbak berkaos biru dengan sablon “ask me” di punggungnya.

Bersyukur pisang sunpride masih melimpah berkardus-kardus. Beberapa finisher yang tak lagi mampu menahan dahaga harus rela scan QRIS atau gopay di booth sponsor minuman demi sebotol isotonic. Sungguh komedi.

Setelah puas berswafoto bersama kolega, tiba saatnya berpisah untuk kembali ke kehidupan masing-masing dengan dua tekad yang sama bulatnya:

  1. Perbaiki performa lari melalui latihan rutin yang lebih rajin; dan
  2. Tidak akan mengulangi partisipasi jika organizer-nya sama dengan event ini.
Wahai JakMar, para peserta tak butuh tahu kalian (katanya) merugi. Jangan bermimpi masuk event WMM jika introspeksi hanya ilusi. Bergurulah kepada event sejenis tanpa perlu sinis. Para pelari begitu kritis demi kembalikan nama JakMar yang manis.

No comments:

Post a Comment