July 24, 2022

(Virgin) Half Marathon - Pocari Sweat Run Indonesia 2022

Tangisan Deara di ujung video call karena maunya "tidur sama Ayah" mengantar malam menuju race day dengan rasa tak karuan. Isi kepala 50% niat dan 50% nekat. Setelah sukses raih #PersonalBest untuk kategori 10K di Pocari Sweat Bandung Marathon 2019 lalu, hati berikrar "tahun depan harus naik kelas ke #HM". Sejak itu mulai rajin baca literatur dan mengikuti tips & tricks para pelari dan coach kece yang saya follow di media sosial. Benar-benar bersiap menuju #HalfMarathon2020.

Manusia hanya bisa berangan. Allah Maha Menentukan. Lalu pandemi menyapu rata semua agenda impian.Tiga tahun tanpa agenda offline. Latihan juga mulai berantakan. Maka bukan tanpa alasan kalau Bibuknya anak-anak tegang dan was-was setengah mati. Dan ya, seperti biasa, sebagai suami yang baik (dan tampan), saya harus terus berusaha meyakinkan atau setidaknya membuatnya tenang.

Saya mulai dengan latihan yang cukup rajin setiap pagi. Sialnya H minus sebulan, penyakit lama kambuh lagi: latihan mulai kendor.

Yaa gimana yaaa, hal yang paling berat dari latihan lari itu 'kan di bagian MEMAKAI SEPATU. Ada aja godaan. AC dingin 'lah. Sekrol-sekrol timeline lah. Cek cuplikan gol Liverpool tadi malam lah. Tau tau udah aja kebuang itu tiga puluh menit. Belum lagi kalau sehabis buka selimut, eeh istri narik lagiiii :p

Fast forward... tibalah raga ini di Bandung via kereta ketika azan magrib Sabtu dikumandangkan. Tugas negara di kota Tuban cukup memusingkan diri ketika harus ke luar kota. Pesawat ke Bandung hari itu cuma bisa ditempuh dengan rute Tuban-Surabaya (jalan darat dulu nih) lalu terbang Surabaya-Denpasar-Bandung. Lha yha ngapain? Rute kereta hanya tersedia dari Surabaya, Bojonegoro, atau yang terdekat (50 km): Stasiun Babat. Opsi terakhir inilah yang akhirnya dipilih karena jamnya cukup oke.

Alhamdulillah diberi kemudahan masih dapat kamar hotel minimalis yang letaknya tepat di depan pintu masuk venue. Setelah carbo loading seadanya, lalu menyiapkan perangkat perang untuk esok hari, rebahan jadi hal termahal di hari itu.

04:00 WIB sebelum azan subuh, mata tiba-tiba automelek tanpa bantuan alarm. Mungkin adrenalin sudah nyuruh otak buat bangun duluan. Setelah mandi dan solat subuh, langkah gontai penuh keyakinan membawa saya ke starting line. Setelah kategori Marathon berangkat duluan 05:00 WIB, setengah jam berselang ganti kategori HM yang meluncur.

Lalu dimulailah perjalanan itu…

Dari awal targetnya memang “hanya” menyelesaikan race sebelum Cut-off Time (COT). Sudah. #PB dengan sendirinya akan tercapai karena ini adalah jarak terjauh yang pernah ditempuh. Empat kilometer pertama berhasil dilalui dengan selamat. Lumayan stabil di rentang pace 5:52 sampai 6:24. Mungkin karena paginya Bandung masih bersahabat. Atau mungkin efek lari bareng grup pacer 2.15 (pemandu pace dengan target  finish 2 jam 15 menit).

Menuju KM #5, ujian pertama hadir menyapa kami semua dengan nama: “flyover (ngeselin) Kiaracondong”. Grup pacer 2.15 sudah ngacir entah ke mana. Meninggalkan saya yang nanjak menggeleng meringis sambil meratapi nasib disalib ibu-ibu dan mbak-mbak yang kayaknya santuy bener naik jalanan model begini.

KM #6 hingga KM #10 sekelebat nampak postur jangkung Coach Agung Mulyawan mendampingi Sahila Hisyam yang sepertinya cuma jogging santai saja. Padahal rasanya kok setengah mati mengejar ritme lari mereka. Belum sempet menyapa Coach Agung, tiba-tiba Soraya Larasati ngebut sepertinya pakai pace 5:00.

Duh. Malunya hati ini bila teringat saat itu…

Satu setengah jam berlalu. Jam tangan menunjuk angka 13 sekian kilometer telah terlalui. Memori di kepala memutar pita rekaman terakhir kali saya long run sepertinya cuma 15 km saja. Tinggal kurang dari 2 km lagi rekor terjauh mampu saya lewati, namun belum cukup untuk menyelesaikan lomba.

Musibah hadir di sekitar 100 meter menuju hydration point KM #16. Otot hamstring kiri tiba-tiba kaku kencang bukan main. Imbas dari insiden kecil yang membuat saya dan beberapa pelari berhenti mendadak karena ada salah satu kendaraan nyelonong memotong track.

Saya coba paksa lari 4-5 langkah namun akhirnya harus dihentikan. Beruntung ada tim medis di KM #16. Jetspray disemprotkan di sekeliling paha kiri. Sembari menikmati beberapa teguk mineral water dan sebungkus energy gel, perlahan otot mulai kooperatif. Sambil mengucap mantra, “yok bisa yok!

Sisa 5 km menjadi last push yang sebenarnya. Sungguh menguras segala daya yang ada.

Angka digital di tangan menunjukkan bahwa 2 jam lebih sudah saya habiskan di jalan. Sebelah otak berpikir “ini ngapain sih lelarian dua setengah jam, numpak polygon atau vixion ‘kan luwih enak” dan sebelahnya lagi berkata “ayo wes dikit lagi finish!”.

Sungguh perdebatan tiada ujung sejak KM #16 tadi. Pikiran konsisten ngebet melangkahkan kaki melawan otot-otot paha yang lemah melihat jajaran pedagang es doger sepanjang pinggir jalan. Ah, memang benar kata orang, rebahan di kasur sambil berselimut uang 5 milyar kayaknya jauh lebih nikmat.

Dan beginilah rasanya. Lari dua jam lebih dengan pace keong. Saat menembus gapura finish line, hanya ekspresi senyum syukur yang bisa mewakili segalanya. Perih pedih menahan kram seolah terlupa. Mengingat latihan yang angin-anginan, fisik yang bisa dibilang tidak terlalu fit, alhamdulillah menyelesaikan race sesuai target: tidak kena COT.

Tahun depan gimana? Embuh wes, pijet dulu lah yang penting…




No comments:

Post a Comment