June 11, 2020

Tridente "FAQ" yang Tak Pernah Satu Lapangan

Walau seangkatan BPS M&T 2014, saya baru mulai lebih kenal sama Fadhli Ibnu Qayyim, atau yang (awalnya tidak) lebih akrab disapa Qayyim ini karena berada di kelas Bahasa Inggris yang sama. Sebagai penghilang penat dan media refreshing, angkatan kami sering adu tanding olahraga. Futsal, pingpong, voli, jogging, PS, basket, hingga main sepak bola. Dari situ saya makin penasaran sama anak Bontang asli Makassar yang gemar pakai baju bertuliskan "Futsal ITB" di punggungnya ini. Walau kemampuan bola volinya nggak se-oke saya, tapi skill olah bolanya bikin mupeng abis. Ngelihat ini anak, saya menyadari bahwa memang ada manusia-manusia tertentu yang dianugerahi bakat untuk bisa semua jenis olahraga.

Di sisi lain, karena di angkatan 2014 itu kami mengalami pendidikan komunal bersama antara BPA-BPS dari semua Direktorat (total sekitar 200 orang), maka pasti saling tahu juga teman-teman Direktorat lain walau mungkin kurang mengenal secara personal. Di kelas besar PCU (Pertamina Corporate University) ini juga saya tahu ada manusia bernama Fachri Baihaqi. Perawakannya tinggi atletis dengan wujud muka tengil a la bromocorah. Sesekali pada kesempatan tertentu, entah di kelas besar maupun saat kewiraan, suara-suara lantang bin ngotot serupa preman sering terdengar keluar dari mulut dia. Dalam hati, "ini anak mana sih kisruh abis". Belakangan saya tahu bahwa dia adalah produk asli Condet. Lalu pada saat angkatan 2014 menggelar turnamen Futsal BPA-BPS Antarfungsi, saya tahu bahwa intuisi saya pada fisik Fachri benar adanya. Dia salah satu goal-gather handal di turnamen itu.

**

Melompat jauh ke 2015. Rupanya Yang Mahakuasa menakdirkan kami berangkat ke satu kota yang sama: Palembang. Kami ditempatkan pada satu tujuan awal yang sama, Marketing Operation Region II. Bedanya, Qayyim-Fachri tetap stay di Palembang, saya harus loncat lagi ke pulau seberang, Bangka. Menjadi satu-satunya diantara kami yang berstatus sebagai pekerja lokasi, membuat saya baru bisa bertemu mereka sesekali saja, karena dalam waktu 1-2 bulan sekali pasti saya harus dinas ke Palembang untuk memenuhi panggilan atasan di kantor Region.

Ada hal unik dari pola kerja tersebut. Ketika saya berdinas ke kantor Region, yang harusnya bisa saya "manfaatkan" untuk menginap di hotel bagus di Palembang, justru saya putuskan untuk menyewa kamar indekos di dekat kantor. Alasannya sederhana, lebih menghemat waktu perjalanan dan lebih mudah mencari makan mengingat waktu itu moda transportasi daring belum menjamur seperti sekarang. Pilihan saya tentu saja mudah, yakni di indekos yang sama dengan mereka berdua.

Kejadiannya pun bisa dibilang lucu. Waktu itu senior di kantor menyarankan saya untuk menginap di wisma kantor. Dua sahabat yang baik ini pun mengantarkan saya ke sana untuk check-in siang hari, lalu mereka menemani melihat-lihat isi wisma (karena mereka ternyata juga belum pernah ke situ). Siang itu rasanya sudah mulai agak spooky sih. Sepi banget.

"Udah nanti ajalah. Sekarang kita jalan-jalan Palembang aja dulu, kan kamu belum bener-bener pernah muter-muter sini kan. Ntar malem kita anter lagi kesini", ujar Qayyim.

"Eh ini tapi malem kayaknya serem nih. Mending dari sekarang lu tanya ke kosan kita aja masih ada kamar kosong apa nggak. Besok baru kita anter cari hotel yang bagus", sahut Fachri.

Dan benar saja. Saat malam mereka antar kembali ke wisma, Fachri si Preman Condet ini langsung masuk kamar, buka selambu jendela lalu ngintip ke arah luar. Dia melihat.........tenang bukan hantu, tapi sebuah ayunan besi tua tak terawat yang mana di sebelahnya ada pohon yang besaaar banget. Ayunan berkarat itu sesekali tertiup angin hingga menimbulkan bunyi "kiiiik" berulang.

Saya menelan ludah.

Qayyim mencoba keluar kamar. Jalan ke kanan dan kiri seperti mencari sesuatu. "Gilak ini sebelah kamarmu nggak ada orang yang nginep sini juga lho! Sepanjang lorong ini kamu sendirian!" serunya memecah keheningan.

"OK. AKU CHECK OUT SEKARANG!"

Jadilah itu pemesanan penginapan tercepat yang saya lakukan. Nggak apa-apa harus tetap membayar. Daripada nggak bisa tidur karena konyol, pikir saya. Jadilah saya menginap di kost mereka. Fachri di kamar No. 12, Qayyim di kamar No. 11, dan saya di kamar No. 7.

**

2016, ketika saya masih bertugas di tengah laut Bangka, Fachri malah sudah mutasi ke bagian lain (meski secara kota masih tetap sama di Palembang). Tugas barunya sebagai oil accounting memungkinkan ia sesekali pasti berangkat ke instalasi ship-to-ship (STS) di Muntok, tempat saya bertugas sehari-hari. Senang rasanya, akhirnya ada teman seangkatan yang bisa diajak sharing pada suatu pekerjaan yang sama. Setidaknya ini mengobati rasa bosan dan penat saya setelah setahun lebih bergulat dengan hal yang benar-benar baru baik dari segi ilmu, pekerjaan, maupun lingkungan dan orang-orangnya.

Pola kerja STS memungkinkan kami "naik kapal" bareng selama minimal seminggu. Maka di setiap waktu "naik bareng" ini banyak obrolan yang kami hamburkan. Mulai dari ceng-cengan soal Milan vs Liverpool, olok-olok main PES di luar jam kerja luar biasa kami, hingga diskusi perminyakan dan operasional perkapalan. Namun di momen-momen tertentu, khususnya waktu Fachri lagi ilang gilanya, kami bisa berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan dan tidak terkecuali: pernikahan. Saat itu kondisinya memang saya baru saja menikah sedangkan si pemilik setia nomor punggung 10 ini lagi ada di proses menuju pernikahan.

Maka ketika saya dinas ke Palembang lalu jalan bertiga sama Fachri dan Qayyim, Milanisti satu ini selalu memperingatkan Qayyim,"Ati-ati lu Yim, kebanyakan curhat sama dia bisa bikin lu cepet-cepet nikah".

**

2017 saya resmi mutasi ke Palembang. Akhirnya kami benar-benar bisa sekota. Setelah sempat sama-sama membujang bertiga untuk beberapa bulan di Palembang, akhirnya anak dan istri saya ikut menyusul. Tinggal Fachri bertahan dalam status bujang lokal, sementara Qayyim bujang beneran.

Rutinitas selain pekerjaan biasanya kami isi dengan main futsal dan sesekali main bola. Malam harinya sudah nggak ada lagi agenda nongkrong bertiga. Saya pulang ketemu anak istri. Fachri menghabiskan kuota internet demi video call anak istri. Qayyim masih sama bola dan kuota internetnya habis untuk yutup.

2018 kami bertiga masih terpaku di kota yang sama. Saya sekeluarga masih di Palembang. Fachri masih LDM meski sesekali disamperin anak istrinya (atau sebaliknya). Qayyim kali ini sudah tidak lagi cuma sama bola. Peningkatan. Sekarang Qayyim sudah disibukkan sama........sepeda. Iya road bike kesayangan dia itu lah mainan dan teman hidupnya. Entah kesambet apa, bocah paling muda diantara kami ini akhirnya berani juga melamar lalu menikahi anak orang di penghujung tahun.

Di penghujung tahun itu pula, turnamen tahunan HUT Perusahaan digelar. Dengan sedikit lobi-lobi, Fachri berhasil menggaet Fungsi saya untuk gabung ke Fungsinya di turnamen GM RU III. Berdua kami antar tim Musicool 2018 raih tempat ketiga. Sementara di turnamen GM MOR II tim Qayyim harus mengakui keunggulan telak tim saya yang bawa pulang tropi Juara I.

Walaupun isu-isu mutasi dan rotasi tak pernah lepas dari keseharian kami bertahun-tahun di Palembang, nyatanya tak pernah benar-benar ada yang mampir ke meja kami. 2019 kami pun masih terpaku di kota yang sama. Saya sekeluarga masih di Palembang. Fachri masih LDM. Tetapi Qayyim nyombong dikit, sudah bawa istri ke Palembang. Dia berani menyelingkuhi bola dan sepeda demi wanita pujaannya. 

Di penghujung tahun ini, Tim saya dan Fachri mempertahankan predikat Juara III di RU. Sementara di MOR tim saya turun ke Runner Up ketika melawan Runner Up tahun sebelumnya yang saat itu berisikan materi pemain all star MOR II di final. Lagi-lagi saya dan Qayyim beda tim dan beda prestasi. Sekalinya pernah satu tim membela MOR II bersama Qayyim, kami gugur di fase awal penyisihan.

**

2020 dua kabar menyesakkan datang dari mereka berdua. Fachri akhirnya pindah ke Surabaya (tempat impian saya). Qayyim geser ke Jakarta (tempat kelahiran Fachri). Sementara saya masih tertancap agak dalem di Palembang. Sedih pasti. Kehilangan teman dekat sesama perantau yang sudah seperti saudara sendiri. Tapi ya bahagia juga kalau melihat mereka segembira itu terima surat mutasi.

Nggak sih. Gombal aja saya. Sebenernya ya banyakan irinya :(


Yang jelas saya dan istri akan kehilangan keluarga Baihaqi yang koplo dan selalu lawak dalam setiap tingkah lakunya...

Bakalan kangen berantemnya Nyonya Besar Fanny yang sering lupa namun terlalu santuy melawan Kacung Fachri yang selalu rajin bersih-bersih hingga rambutnya menipis. Juga suara-suara drama mereka yang kocak apalagi kalo diselingi polah usil si Abilio. 

Teori buah jatuh tidak jauh dari pohonnya ini sungguh sangat mudah dibuktikan jika lihat Abil/Abilio/Abim. Abim ini semacam Fachri dalam bentuk sachet. Persis kelakuan dan wujud fisiknya. Bedanya kalo Fachri baru diem pas tidur, kalo Abim baru diem abis dapet es krim. Nah kalo Ibunya? Hmm...mungkin baru diem dan seneng kalo udah dibeliin panci dan sutil mahal yang ngehits itu. Entahlah. 

Tapi Ibu Fanny ini memang "kera ngalam" tulen. Dia jago bikin bakso. Selalu mengundang kita makan-makan ke rumah dia yang seketika jadi mirip warung-warung indomie deket kampus. Lha gimana nggak kayak warmindo? Orang suaminya aja tiap sepuluh menit selalu request ngeselin, "Mih, buatin kopi dong!". Pas secangkir kopi lagi otewe dianterin nih, dengan indahnya dia bilang, "Mih, kayaknya mie goreng enak nih. Tolong dong sekalian". Belum juga habis suapan indomie itu, si Kacung kurang ajar bisa-bisanya bilang, "Mih, gorengan kemarin masih ada nggak? Atau gorengin lagi aja deh". Lalu pas kunyahan terakhir gorengan, si Kacung request lagi, "Mih, kopi yang tadi udah habis nih. Buatin lagi dong". Looping begitu seterusnya sampai adeknya Abim masuk TK.

Btw, "Mih" di situ adalah panggilan kesayangan Fachri ke istrinya. Mungkin kepanjangan dari "Parmih" atau "Darmih" atau entahlah. Maaf, ngomongin warmindo tadi bikin saya fasih nyebutin nama bibik-bibik pemilik jaringan warmindo nusantara. Oke lupakan.

Dengan santuy dan sedikit ngomelnya, Bibik Fanny selalu aja nurutin maunya suami. Demi surga katanya.

Ingat. Surga dunia versi Ibu Fanny adalah: panci, wajan, dan sutil. Artinya apa? Artinya ya buat masakin Fachri kopi, indomie, dan gorengan lagi. Ruwet kan? Iya ruwet. Kayak rambut Abim. 

Di sisi lain kami juga akan kehilangan keluarga Qayyim yang seringkali skip...

Saya pikir teori "jodoh adalah cerminan kita" itu memang benar adanya. Dibuktikan dengan menikahnya mereka berdua. Semoga ke-skip-an itu tidak menular kepada Si Gembul Adek Faiq. Anak lucu menggemaskan ini mewarisi pigmen kulit Desi, ibunya. Dan sepertinya Sang Papa Qayyim hanya menyumbang mata melototnya. 

Faiq ini kalo dipakein peci putih jadi mirip banget sama tokoh kartun Nussa. Namun seketika berubah menyerupai koko-koko berperut buncit kalo lagi dipakein kaos putih dan celana pendek. Fachri dengan jahatnya bilang ini anak kayak Mat Solar. Keterlaluan. 

Masih kebayang nih kealpaan kalian yang berulang semacam "Loh, Han! Makan malemnya adek ketinggalan" atau "Han, celana adek nggak kebawa!" atau "Ini tahun 2023 kan, Han?". Nggak sih. Lebay. 

Oiya "Han" yang disebut di situ adalah panggilan kesayangan mereka ya. Artinya bisa "Hansip" atau "Handoko" atau yang kekinian "Han-sani-teyser". Entahlah. Hanya mereka yang tahu arti panggilannya apa. 

Qayyim yang supernekat dan suka adrenalin ini lucunya malah tinggal seatap sama Ibu Desi yang relatif suka takut. Ketakutannya itu sampai di level "nggak berani keluar kamar untuk jalan ke dapur untuk ambil piring" atau yang lebih ekstrim "nggak berani duduk jok mobil di belakang sendiri meskipun suami jelas-jelas ada di jok depan lagi nyetir". Entah ini takut diculik apa takut kalau jalan sendiri kena gempa atau gimana. Kalau pas Qayyim lagi nggak di rumah lalu Ibu Desi WA istri saya nyari temen, seringkali saya yang malah takut pas istri ngajak kesana. Takut nggak dibukain pintu aja. Kan dia jalan keluar kamar nggak berani kalau sendirian.

kearkana - baihaqi - qayyim
Well, that's all.

Ada banyak kata yang tak bisa diucap kala bertemu. Jabat tangan dan pelukan rasanya sudah menggambarkan betapa kami kehilangan kalian. 

Btw, kado buat bapak-bapak sengaja saya pilihkan yang paling baik, paling unik, dan yang paling bisa mengingatkan kalian kepada saya. Itu kado juga pasti akan memorable di masa mendatang. Percayalah.

Semoga suatu saat kita bertiga bisa membela satu tim bola yang sama di sebuah turnamen apa pun itu. Semoga kelucuan di grup WA masih berlanjut. Semoga impian liburan bareng tiga keluarga segera terlaksana di waktu yang tepat. Jujur, pernah juga terbersit di bayangan kami suatu saat kita berangkat bareng ke tanah suci :)

Hati-hati di jalan, Saudara-saudaraku.
Stay safe, stay healthy, stay awesome. 

Fii amanillah....

Semoga silaturrahim kita tak pernah putus sampai anak cucu tujuh puluh turunan ke bawah. Semoga masing-masing diberikan kelancaran rezeki, karir, dan yang terpenting sehat selamat bahagia dunia akhirat. Aamiin.


Palembang, 11 Juni 2020
Ditulis dengan hati gerimis di hari Kamis

No comments:

Post a Comment