September 29, 2015

Bukan Resensi: "Negeri van Oranje" dan "Critical Eleven"

Setelah cukup eneg sama lingkungan kerja yang didominasi lautan biru dan berkutat dengan tanker, pertolongan Tuhan hadir dalam bentuk "panggilan dinas". Saya ditugaskan untuk sementara waktu mengisi kekosongan satu-satunya jabatan operasional di Jambi. Meninggalkan Muntok (Bangka Barat) yang sudah cukup membuat kepenatan memuncak.

Memang tidak murni kerja kantoran. Tetapi di sini saya bisa lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di jetty mengingat perairan tidak cukup aman untuk pergerakan tongkang-tongkang pengangkut BBM. Seperti yang kita ketahui, Jambi menjadi salah satu wilayah terparah yang terpapar kabut asap hasil ulah para kampret pembakar hutan.

Kehidupan di sini memang relatif lebih ramai jika dibandingkan Muntok, atau bahkan Pangkalpinang sekalipun. Akan tetapi Jambi tetaplah Jambi. Beruntung di sini ada Gramedia yang selalu lebih sukses menarik saya daripada mal, coffee shop, restoran fast food, maupun Indomart yang juga sama-sama tidak ada di Muntok.

Di Gramedia saya bisa hanyut. Berpindah dari satu rak ke rak lain tanpa tendensi apapun. Kadang menjangkar di satu sudut toko membaca dengan seksama satu buku yang menarik perhatian. Sama seperti pasangan, saya cenderung bertipikal sangat pemilih sebelum memutuskan untuk rela merogoh kocek demi membawa pulang buku-buku keren. Walau selalu ada pertentangan dalam batin yang lebih suka mendorong saya membeli semua yang saya ingin. Tetapi kali ini alarm bernama "catering, gedung, dekor, dan rias yang belum dibayar" sukses mengerem nafsu brutal saya dalam membeli buku.

Dan jatuhlah pilihan itu pada "Negeri van Oranje" dan "Critical Eleven".

Critical Eleven dan Negeri van Oranje
Keduanya tentu saja sudah melewati seleksi yang sangat ketat dengan tingkat perfeksionisitas saya yang sedang menggila belakangan ini dalam nuansa efisiensi anggaran hedon demi masa depan.
hehehehehehe

Postigan ini mungkin tidak akan menjawab pertanyaan teman-teman saya di sosmed "bagus nggak bukunya?"

Akan tetapi rasanya saya gatal kalau nggak sharing tentang apa kesan saya terhadap kedua buku yang belum habis saya baca ini hehehehehe

Negeri van Oranje
Manusia pertama yang sangat menyarankan buku ini adalah Jalil Irfanartiko (sengaja saya tulis nama lengkap, barangkali ada yang mau ta'aruf sama dia bisa lah yaa stalking dulu). Pemuda satu ini merupakan partner diskusi saya paling maknyus belakangan ini karena kami sedang sama-sama berkarya dalam bidang yang berdekatan, berpotongan, dan bersinggungan namun tidak kongruen: Maritim dan Perkapalan. 

Judul buku ini terlempar saat kami sedang membahas project buku kami bersama tim Pustaka Merah Putih berjudul "Memandang Indonesiaku". Pertemuan singkat kami di sela-sela agenda padat di Surabaya minggu lalu (20 September 2015) di Masjid Manarul Ilmi ITS, mengantarkan kami pada kesimpulan,"Ya. Kita harus lebih serius garap buku PMP jilid kedua nanti." Maka mulailah kami brainstorming menggambar sketsa kasar bagaimana konsep buku kedua nanti walau dengan tema besar yang sama: Memandang Indonesiaku.

Dalam perdebatan dan kebingungan yang kami alami, tiba-tiba Jalil nyeletuk "Coba baca Negeri van Oranje".

Lalu dengan spontan pula saya jawab,"What? Novel?".

Dengan anggukan mantapnya, saya paham arah pikiran Jalil. Sepertinya kami akan garap buku PMP jilid kedua nanti dengan konsep novel. Ada alur cerita fiksi di sana namun akan sangat kaya dengan penggambaran Indonesia di berbagai bidang. Jadi penyampaian fakta, data, hingga opini penulis akan dilebur dan dibalut dengan atraksi penuturan gaya khas novel. Yaaa namanya juga impian. Maka tugas saya adalah menyerap dulu bagaimana "Negeri van Oranje" ini digambar, siapa tahu akan ada sisi baik yang nanti bisa diadopsi untuk memperkaya konsep "Memandang Indonesiaku (II)" nanti.

Semoga...


Critical Eleven
Seorang sahabat dalam akun path-nya merekomendasikan novel ini dengan kalimat yang sangat menggoda....

"Aku sih rekom. Kamu bgt ini LDR di darat sama 'tukang minyak'. Haha"

Well, justru itu jadi alasan kedua kenapa dompet saya mau menukarkan isinya dengan buku ini. Selain alasan ketiga: kuangen banget sama tunangan yang lagi LDR-an darat-laut (hiks, maaf curcol haha)

Alasan pertama ada pada cover belakang novel ini karena penulis berkata...

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

Sejujurnya saat ini saya tengah menanti-nanti dengan cemas novel saya yang kata editor sih sudah masuk proses cetak. (alhamdulillah Ya Allah). Novel ini telah selesai saya garap berdua dengan seorang rekan di tahun 2013 (namun baru ada penerbit yang mau menerimanya di 2015 ini hahaha), di mana cara penuturannya memiliki konsep yang sama dengan novel ini. Yakni, diceritakan secara bergantian dari sudut pandang kedua tokoh utamanya sehingga menyerupai personal diary yang saling bersahutan layaknya puzzle.

Sebuah alasan yang sangat personal.

Tidak. Saya tidak sedang ingin meniru atau bahkan sebaliknya men-judge bahwa cara penulisan siapa yang lebih bagus. Namun justru saya penasaran setengah mati bagaimana Mbak Ika Natassa menjelma dalam dua tokoh yang berbeda dan menuangkannya dalam sebuah novel yang seru.

Semakin bertambah penasaran saya apakah novel dengan gaya seperti ini akan bisa diterima dengan baik oleh pembaca? Walau jujur saya mulai merasa minder dan khawatir kelak pembaca novel saya akan berkomentar "ah, gaya tulisan sahut-sahutan gini tiru-tiru Ika Natassa nih" atau "cara cerita gantiannya bagusan Critical Eleven" atau yang lebih saya takutkan lagi adalah "nggak kreatif ah".

Terlalu paranoid memang.

Apapun itu, kini saya mulai jatuh cinta pada tulisan Mbak Ika Natassa sejak kenal Ale dan racauan-racauan Anya dalam novel ini. 

Dan pada satu titik saya menyadari dengan gembira,"That's it! Ada hal yang membedakan novel ini dan novel saya."



*ditulis di sela-sela menunggu proses bongkar. stand by 09!
btw Critical Eleven sudah saya baca habis, keren banget!

2 comments:

  1. Anya :

    Ale punya caranya sendiri untuk mencintaiku. Dia ada bahkan ketika dia tidak ada. Dan jika dengan segala kekurangannya dan keterbatasan kami- keterbatasan waktu, hambatan geografis, you named it- Ale mampu membuatku merasa dicintai sebesar ini, kenapa aku harus mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya?

    Me :

    you got me love you much even when you're not near me mas.. even without wanna be ale, you're still the best I ever had :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. i didn't plan on falling in love with you, and i doubt if you planned on falling in love with me..
      but once we met, it was clear that neither of us could control what was happening to us..
      i love you with all my limits, with all my heart, with all my best or even my worst :)

      Delete