January 23, 2012

Not a Fairy Tale #2

Malam itu menjadi yang pertama kalinya memeluk dan mendekapnya di pundak.
Daya ingat saya terlalu pendek untuk mengingat kapan terakhir kali melakukan itu.Mungkin telah lebih dari lima belas tahun yang lalu.
Malam itu juga kali pertamanya menenangkan tangisnya dalam kurun waktu yang mungkin relatif sama.


Dulu, saya paling rajin membuat dia menangis karena memang secara naluriah, seorang kakak pasti tidak bisa diam melihat adik imutnya anteng (diam).
Hasrat usil dan ingin mengganggu akan selalu ada pada setiap kakak yang menyayangi adiknya.
Maka tidak jarang, Bunda menetapkan saya sebagai tersangka ketika mendengar tangisan dari Restu.
Ayahpun tidak pernah berhenti menggeleng melihat betapa tidak pernah akurnya kami.


Bedanya, malam itu Restu menangis bukan karena ulah saya.
Saat itu, ada sesuatu yang sepertinya sedang membuncah di wajahnya.

Mata ini sedang begitu asyik-nya memandang layar laptop karena ingin segera dimanjakan setelah serangkaian parade akademis membelenggu kesenangannya.
Saat kepala ini dipenuhi hal-hal semacam seminar, PKM, TA, ormawa, tiba-tiba dia datang.

"Nge-net mas?", sapanya sambil menepuk halus pundak kiri.

"Nggak, nyicil tugas kok", jawab saya seraya memperhatikan proceding yang harus direvisi, "Kamu mau minjem?".

Dia hanya tersenyum,"Nggak wes, ayok ke teras depan, aku pingin cerita".

Refleks, saya memandangi langit.
Memastikan saat itu tidak ada hujan ataupun badai yang tidak biasa.
Hehehe
Karena ini di luar kewajaran, tanpa pikir panjang saya mengikutinya ke teras depan.

Belum sampai satu menit kami berbincang.........Air matanya tumpah juga, seketika itu laptop saya tutup dan meraih kepala dan bahunya untuk mendekapnya.

Ada sebuah kerinduan dan kekhawatiran terhadap keluarga di rumah dalam tutur katanya.
Ada sebuah ketakutan dan kegamangan menatap masa depan dalam ceritanya.

Ada dalam posisi ini memang pernah saya alami.
Nampaknya bayang-bayang kegagalan masih menyisakan ruang duka dan cemas yang cukup mendalam pada hatinya.
Babak baru perjuangan dalam hidupnya sedang dimulai untuk dimenangkan.
Meski bukan hal baru, namun menenangkannya dalam kondisi ini begitu tidak mudah bagi saya.
Berbagai cara saya coba lakukan demi meyakinkan dia bahwa masa depan itu milik kita!
Masa depan bukan hal yang patut ditakutkan, namun justru harus dimenangkan!

Suplemen paling mujarab dalam memotivasi seseorang adalah KETELADANAN.
Maka ini juga telah coba saya lakukan, dan dia telah menyaksikan secara langsung maupun tidak.
Sesekali ia menanyakan apa saja yang pernah terjadi dan menimpa saya selama berjuang dulu.

Dan satu lagi cara terampuh (setidaknya menurut saya) memotivasinya adalah dengan menularkan kebiasaan membaca, khususnya buku-buku inspiratif.
Buku Manusia Setengah Salmon yang membahas tentang perpindahan dan perubahan dan Notes From Qatar yang bertutur tentang dahsyatnya kekuatan "Positive, Persistence, Pray" dalam kehidupan sehari-hari, menjadi dua buku awal yang membuka matanya dan membangkitkan semangatnya lagi.

Alhamdulillah...tak lama berselang, dia meminta saya mencari buku-buku serupa.
Man Jadda wa Jadda, The Secret, The Magic of Thinking Big, UltimateU sedang dalam proses akan dia baca.
Malam itu menjadi saksi janji saya, bahwa seperti apapun keadaannya..........kapanpun dan dimanapun selama saya mampu, jika dia membutuhkan saya, saya akan datang.

Satu yang terus coba kami pahami bersama,
bahwa "untuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik, kita tidak perlu menjadi manusia sempurna, kita hanya perlu menjadi manusia setengah salmon: Berani Pindah"


#Dedicated to My Beloved Younger Sister
"...you just call out my name, and you know, wherever I am, I'll come running to see you again...."

No comments:

Post a Comment