May 06, 2019

Anniversary #3 : Memilih Teman Ngobrol

"How did you know that she is the one?"

Pertanyaan ini berserta segala variasinya selalu saya dapatkan dari teman dekat saat mendekati hari-H. Seharusnya sih mudah ya buat dijawab. Entah kenapa saya jadi bingung sama pertanyaan ini. Bingungnya lebih kepada "oh, ini memang harus ditanyakan ya?" atau malah "eh iya juga ya, kok ndak kepikiran ada yang nanya gitu ya?"

Sempat terdiam sesaat, tersenyum, menaikkan sebelah alis, kemudian saya yakin menjawab dengan mantap "Yeah, of course I know she's the one. Just because.....hmm...she's the one!"
Jawaban "semprul" itu bukan sekenanya saja saya jawab. Namun ketika sudah memastikan melamar dan mendapatkan tanggalnya, bagi saya, itu sudah lebih dari sekedar jawaban bahwa saya mencintai wanita ini.

Sejujurnya, saya tipikal pemilih dan terlalu berhati-hati dalam memilih pasangan. Agak susah. Kata teman-teman SMA, saya terlalu pemilih malahan. Walau sebenernya, mereka nggak tahu aja kalo pas masa SMA itu bukan pemilih, tapi lebih karena nggak ada yang mau sama saya aja sih :(

Saking berhati-hati dan selektifnya, saya relatif jarang berani menyatakan rasa suka bahkan sayang kepada orang yang mampu membuat saya nyaman. Karena pasti ada saja satu dua hal yang belum bisa saya terima sifat atau sikapnya. Bahkan ketika sudah berhubungan (istilah anak mudanya sih "pacaran") saya masih suka berpikir terlalu jauh seperti "mungkin nggak ya dia nanti jadi istri yag cocok?" atau "kalo dia jadi ibu dari anak-anakku?".

Tetapi rasanya ketika ketemu, kenalan, dan lebih akrab lagi sama wanita yang satu ini, saya semakin merasa ada banyak hal yang membuat saya yakin untuk meminangnya. Dia mungkin bisa dibilang keras dan kaku, yaaa 11-12 lah dengan saya. Tapi ya selama untuk hal-hal yang bersifat prinsip dan tujuan hidup masih sejalan, bagi saya itu bukan menjadi masalah besar.

Dulu saya selalu membayangkan bahwa kelak ketika sudah hidup mandiri dan mendapatkan pekerjaan, saya akan jauh lebih banyak menghabiskan waktu kepada pekerjaan itu sambil sesekali menyalurkan hobi. Untuk itu rasanya saya lebih pas jika ketemu sama wanita yang cukup independen. Mampu mengurus dirinya sendiri tetapi tidak serta merta melepaskan diri dari suaminya. Apalagi di bayangan saya, kelak saya ingin mendapat pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi, hingga tugas ke sana ke mari terbang ke luar kota menjadi hal yang tak bisa dihindari. Rasanya akan pas jika wanita yang menjadi istri saya adalah yang tidak gagap mengurus rumah tangga, tidak takut ditinggal dinas luar kota dalam 2-3 hari.

Namun semakin mendekati hari dimana saya berani melamarnya, saya menemukan alasan mendasar kenapa saya bisa sangat yakin dengan pilihan ini: nyambung. Ya, sesederhana itu. Ia adalah wanita paling nyambung sejauh ini. Saya bisa mendiskusikan segala macam hal bersamanya. Sepak bola, buku, musik, film, teknologi, politik, parenting, olah raga, travelling, semuanya lah pokoknya. Yang paling saya suka darinya adalah pemikirannya yang progresif. Selalu terbuka dengan hal-hal baru. Dan ya, sama seperti saya, ia selalu haus akan informasi update dan ilmu-ilmu baru. Saya membayangkan kelak budaya literasi akan sangat bisa tercipta dan terjaga di rumah kami.

Kenapa hal "nyambung" ini menjadi yang terpenting bagi saya dalam meyakini untuk memutuskan menulis namanya pada berkas kelengkapan pernikahan di meja KUA? Karena, pada akhirnya nanti, kehidupan kita berumahtangga akan selalu dimulai, dijalani, dan (bila usia telah berakhir) diakhiri antara saya dan dirinya. Sepanjang itu nanti, yang kami miliki hanyalah obrolan sehari-hari. Jika nanti kami menua bersama, maka hubungan suami-istri akan dengan sendirinya berubah menjadi rekan diskusi atau teman ngobrol sepanjang waktu. Maka akan sangat mengerikan jika kita memilih pasangan hidup bukan dari orang yang tidak nyambung secara obrolan dan komunikasi.

Selamat tiga tahun, wahai Teman Ngobrolku... :)
Semoga Allah meridhoi kita agar kamu masih setia menemaniku bercerita hingga nanti di surga...
Aamiin 

No comments:

Post a Comment