April 18, 2014

Bukan Steven Gerrard, Tapi Brendan Rodgers

Kalimat dalam judul posting kali ini mungkin biasa jika penulisnya adalah orang yang tidak suka kepada Liverpool (LFC) ataupun Steven Gerrard. Tetapi saya bisa pastikan kepada Anda sekalian bahwa saya adalah fans berat Steven Gerrard dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak jarang kecintaan saya kepada Liverpool tertutupi oleh kekaguman saya kepada Pangeran Merseyside yang punya nama asli Steven George Gerrard ini.

Bahkan, suami dari Alex Currant ini adalah magnet terbesar bagi saya untuk menolehkan kecintaan saya dari MU era Eric Cantona, Dwight Yorke, dan David Beckham kepada Liverpool era Patrick Berger, Steve McManaman, Robie Fowler. Sekalipun saat itu Steven Gerrard kalah mentereng daripada Michael Owen dan masih didapuk sebagai pelapis Dietmar Hamman.
Menurut saya tidak berlebihan jika Steven Gerrard dalam dekade ini selalu dinobatkan sebagai entitas yang kebesarannya kadang dilebihkan daripada tim Liverpool itu sendiri. Apalagi jika melihat prestasinya secara pribadi sebagai pesepakbola. Lihat saja, dalam usianya yang baru 23 tahun, dia sudah dipercaya mengemban tugas yang tak remeh sebagai Kapten Tim. Padahal seluruh liverpudlian tahu bahwa tak mudah bagi seorang anak muda untuk dapat menggeser nama-nama besar dan lebih senior seperti Sammy Hyppia ataupun Jammie Carragher. Namun seluruh penikmat sepakbola Liga Inggris tak akan membantah bahwa ketergantungan Liverpool ada pada permainan Stevie G, tak ayal dia disebut-sebut sebagai roh.

Tetapi selaku fans berat, saya tak akan mencintai Stevie G secara buta. Bahkan dalam tiga tahun belakangan saya menilai bahwa Sang Kapten ini mendadak berkepala dua dengan menjadi nyawa sekaligus masalah bagi Liverpool. Kenapa bisa begitu?

Gerrard: Insting vs Otak
Belakangan saya sepakat dengan apa yang Raffael Benitez bilang, bahwa Gerrard bermain bukan dengan otak, tetapi passion sehingga tak jarang dia tidak patuh pada skema permainan dengan lebih mengandalkan instingnya. Jadi jangan heran jika sering melihatnya mengejar bola kesana kemari bak kesetanan, tak peduli dengan posisi utamanya, tak segan-segan bertabrakan (atau bahkan melanggar) lawan,  mengacak-acak skema, dan (masih) tak jarang melepaskan tendangan ke gawang yang dalam tiga bahkan lima tahun belakangan hampir tak pernah membuatnya tampak sebagai pemilik cannon-ball seperti dulu kala. Meleset! Kacau!

Cara bermain Gerrard ini bisa jadi solusi pada saat-saat tertentu, dengan catatan dia punya tandem pemain tengah yang lebih tenang semacam Xabi Alonso atau Frank Lampard. Tetapi dengan komposisi lini tengah Liverpool (selepas kesalah-prediksian Manajemen Liverpool melepas Alonso ke Madrid), gaya permainan Gerrard ini menjadi masalah besar yang belum terpecahkan hingga musim 2012/2013 lalu.

Roy Hodgson hingga Kenny Dalglish pun belum terlihat berusaha menutupi kelemahan LFC atau bahkan tak paham bagaimana menghidupkan kembali lini tengah Liverpool. Mereka terlalu bertumpu pada Stevie G. Yang mereka lebih fokuskan adalah bagaimana membuat daya gedor LFC kembali menakutkan sepeninggalan striker "lupa kulitnya", Fernando Torres. Mereka seakan lupa bahwa inti skema permainan LFC dari masa ke masa ada pada barisan lini tengah yang solid.

Hingga suatu saat muncullah sebuah solusi bernama Brendan Rodgers.

Dalam situasi paceklik gelar yang berkepanjangan. Di bawah bayang-bayang kegagalan dan kegamangan skuad The Reds yang angin-anginan tak tentu arah dan prestasi, Manajer baru berdarah Irlandia ini mencoba membenahi perlahan permasalahan yang ada dalam skuad LFC. Dia memang bukan pelatih dengan nama besar seperti Opa Fergie ataupun si kontroversial Mou. Selera fashion-nya juga mungkin masih kalah dari AVB dan ia pun tak mau mengekor Wenger yang sukses mengilhami produk ban karet Michellin untuk meniru gaya jaketnya. Lalu apa yang membuat Brendan Rodgers layak diperhitungkan?

Selepas King Kenny Dalglish mengundurkan diri dari kursi Manager, Chairman LFC hanya memberikan kontrak masa percobaan selama enam bulan kepada Brendan Rodgers yang setelahnya ada opsi perpanjangan satu tahun.

Tangan Dingin Rodgers
Di musim pertamanya bersama LFC, Rodgers menerapkan tiki-taka yang dia kembangkan di Swansea (klub yang sebelumnya ia tangani) untuk diadopsi ke LFC. Hasilnya, permainan The Reds sangat memikat dengan satu dua sentuhan cepat dikombinasikan dengan penguasaan bola yang kuat. Namun sepertinya Rodgers harus sepakat dengan apa kata Mourinho, saat menggunakan skema pragmatis kala sukses menjungkalkan Barcelona pada laga El Classico,"pertandingan sepak bola itu ditentukan dengan seberapa banyak Anda mencetak gol, bukan seberapa cantik permainan tim Anda".

Benar, Rodgers memang menyulap LFC sebagai tim yang selalu asyik ditonton tetapi mengecewakan saat melihat papan skor. Tiki-taka ala Rodgers di LFC membuat Gerrard tak banyak berkembang, menuntut Suarez meredam karakter eksplosif (hingga santer isu ia ingin hengkang), memaksa Skrtel duduk di bangku cadangan karena penguasaan bolanya tak lebih baik daripada Agger, dan membuat keahlian dribbling Sterling sia-sia. Praktis hanya Joe Allen (anak emas Rodgers yang dibawa dari Swansea) yang tampak menonjol.

Tetapi pada musim pertamanya, Rodgers sukses menancapkan pengaruh bahwa LFC adalah sebuah "mainan" besar yang sangat mudah untuk diracik dan dikembangkan. Mungkin dalam alam pikirannya, Om Brendan berkeyakinan bahwa dia akan mengorbankan musim pertamanya dengan banyak mencoba, mencoba, dan mencoba segala alternatif demi mengeksplorasi gaya permainan LFC sampai akhirnya ia tahu benar satu skema yang tepat untuk tim ini.

Hasilnya? Di musim ini, seluruh perhitungan, eksperimen, dan kesabaran Brendan Rodgers berbuah!

Wajah Baru di Bawah Mistar
Sektor ini menjadi pusat kritik lini belakang LFC dalam 2-3 tahun sebelumnya seiring semakin menurunnya performa Pepe Reina. Penjaga Gawang ketiga di skuad Timnas Spanyol itu akhirnya dipinjamkan ke Napoli dengan harapan dia akan kembali menemukan bentuk permainannya. Sementara Sang Manager melirik Simon Mignolet, kiper muda dengan keunggulan postur, refleks, dan possitioning yang bagus.

Memoles Lini Belakang
Beberapa pengamat mengangkat alis saat Rodgers membeli Kolo Toure dan Sakho. Memang selepas Carragher gantung sepatu, suporter was-was karena hanya Skrtel-Agger saja yang selalu siap diturunkan, jika salah satu atau keduanya cedera, maka lubang besar menganga di depan gawang. Namun sekarang, Rodgers punya banyak pilihan karena kemampuan keempat central defender ini merata. Meski Skrtel tampak menonjol dengan jumlah golnya yang telah melampaui Fernando Torres (so sorry El Nino!).

Kejeniusan Rodgers juga tergambar saat menukar posisi, full back muda masa depan LFC, Flanagan dengan Glen Johnson. Seperti yang kita ketahui, Flano memiliki kaki dominan kanan sementara Johnson kidal. Akan tetapi Rodgers memasang skema, yang sekarang sering dikenal sebagai inverted full-back dengan Flano di kiri dan Johnson di kanan (berkebalikan dengan kaki dominannya). Semula publik mengira bahwa siasat ini adalah untuk menutup lubang karena Jose Enrique (si kidal, full-back kiri LFC) cedera berkepanjangan. Namun seiring berjalan, liverpudlian tersenyum bahagia karena skema ini sukses meredam kecenderungan Manajer masa kini yang memakai skema inverted forward ataupun inverted winger.

Eksplorasi Lapangan Tengah
Sekali lagi Rodgers menunjukkan kecerdasannya dengan membaca kelemahan LFC dalam lima tahun belakang. Liverpudlian masih susah move on dari Xabi Alonso. Dulu sejatinya dialah otak dari skema menawan LFC. Steven Gerrard bisa seekspresif dan atraktif itu karena dia bersanding dengan gelandang yang sabar semacam Alonso. Alonso pandai menutup serangan, membaca permainan, dan selalu mendukung penyerangan sama baiknya dengan saat bertahan. Perannya sebagai penyeimbang lini tengah mendorong Gerrard untuk lebih mendobrak lawan saat lini depan mengalami kebuntuan.

Namun semenjak Alonso pergi, Lucas Leiva maupun Joe Allen belum bisa disejajarkan dengannya, alhasil Gerrard harus menjalankan peran ganda sebagai dirinya sendiri dan sebagai Alonso dalam menjaga lini tengah.

Tak heran kolumnis ternama harian Inggris sempat mempertanyakan apa fungsi Gerrard di LFC selain sebagai pemimpin yang memang kharismatik. Secara personal, dia tak banyak berulah di luar lapangan, sehingga wajar jika leadership-nya menjadi nilai plus di LFC dan sulit mengganti kepemimipinannya di lapangan. Namun bagaimana membuat Gerrard sebagai sebuah solusi dan bukan lagi masalah? Rodgers punya jawabannya.

Musim ini, setelah menyadari bahwa Gerrard adalah pemimpin, inspirator, juga nyawa dari skuad LFC dan dia selalu bermain out of his natural role, Rodgers melakukan pendekatan lain dalam skema LFC. Dia tak lagi memaksakan timnya memeragakan tiki-taka standar, namun memolesnya dengan gaya asli LFC kick and rush sehingga permainannya lebih direct dengan umpan-umpan lambung, umpan silang, umpan terobosan yang menusuk yang seperti kita ketahui menjadi spesialisasi dari seorang Stevie G.

Gerrard diplot sebagai holding midfielder yang bertugas melindungi empat defender saat menghalau serangan lawan. Posisinya dipaksa untuk lebih dalam ke bawah dan diberikan ruang untuk mengeksplorasi lini tengah pada separuh hingga sepertiga akhir pertahanan LFC. Saat serangan lawan dipatahkan, Gerrard mengawali penguasaan bola dan membagi-baginya pada titik-titik kosong sisi lapangan lawan dengan umpan-umpan terukurnya, karena pada posisinya ini dia punya jangkauan pandangan yang lebih luas. Jika dulu kita melihat dimana ada bola di situ Gerrard akan berlari, maka musim ini kita menyaksikan sosok Gerrard yang jauh lebih dewasa, lebih efektif, lebih visioner dalam bermain.

Naluri bertahan dan menyerangnya memang setara, tetapi siapapun tahu bahwa kemampuan bertahan Gerrard tak sebagus gelandang-gelandang dunia lain, hal ini disadari Rodgers dengan memeragakan formasi 4-4-2 diamond dengan menempatkan Henderson-Coutinho yang mengapit Gerrard. Jadi setidaknya sebelum berhadapan dengan defender dan kiper, lawan dari LFC harus bisa menembus Hendo-Cou sebelum akhirnya bertarung melawan Gerrard.

Sejauh ini format ini cukup menjanjikan, apalagi Raheem Sterling kini disulap oleh Rodgers menyerupai peran Thomas Mueller di Muenchen untuk menjadi attacking midfileder berperan ganda: menjadi second striker sekaligus false nine yang menekan pemain tengah lawan sejak dini (sedikit mengadopsi skema high-defensive line).

Lihat saja permainan LFC saat melawan MU, Rodgers sadar betul bahwa kunci permainan MU ada pada kaki Carrick, maka Sterling mendapat tugas mulia untuk mengacaukannya sehingga Carrick tak punya ruang yang cukup untuk berpikir. Hal ini ia ulangi lagi saat menghadapi kejeniusan seorang Yaya Toure dan Mesut Ozil.

Dalam sisi man management, Rodgers sukses mengangkat permainan Henderson-Sterling yang musim lalu hanya akan bermain saat Allen-Lucas-Gerrard-Suarez-Downing sedang under perform. Kini rasanya susah menggeser peran mereka, bahkan di Timnas Inggris.

Duet Mematikan dan Menakutkan
Suporter Chelsea bersorak dan menganggap Rodgers sedang bercanda saat memboyong Daniel Sturridge ke Anfield. Para penggemar PES dan Winning Eleven menjuluki Sturridge sebagai pemain dengan tombol silang (X) yang rusak. Ia egois, tak pernah mau berbagi bola dan hanya tahu cara shooting ke gawang, tidak lebih tidak kurang. Bisa dibayangkan petaka macam apa yang akan menghajar LFC saat dia disandingkan dengan Suarez, si striker kontroversial dengan segala keegoisannya di depan gawang.

Rodgers bergeming. Sekali lagi man management-nya "memakan korban". Sturridge hari ini bukanlah Sturridge yang kita kenal dahulu. Pun begitu dengan Suarez. Dua manusia egois itu kini melebur dalam duet yang harmonis dan sadis. Suarez dengan 29 gol dan 12 assist. Sturridge dengan 20 gol dan 7 assist. Bisa dibayangkan betapa menakutkannya duet mereka, sehingga media Inggris menyebut mereka SAS (SuArez-Sturridge), seperti nama unit pasukan khusus Angkatan Darat Inggris (SAS: Special Air Services).

Steven Gerrard dan Brendan Rodgers. Source: skysport.com

Kesabaran dan kejeniusan Brendan Rodgers menjadi kunci performa LFC musim ini. Saat seluruh liverpudlian sepakat untuk meneriakkan "persembahkan gelar EPL buat Gerrard", diam-diam Rodgers lah otak dari segala usaha untuk mewujudkannya. Maka bagi saya, Steven Gerrard tetap menjadi inspirator, leader, dan nyawan bagi Liverpool, akan tetapi Brendan Rodgers adalah Jenderal dan Sutradara bertangan dingin di balik nama besar Liverpool saat ini (bahkan mungkin) untuk masa mendatang.

*nb: Kepada  John W. Henry, Tom Werner, Ian Ayre, tolong segera sodori perpanjangan kontrak Brendan Rodgers sebelum Juni 2015 banyak klub meminangnya.

No comments:

Post a Comment