January 11, 2013

Tentang Para Sahabat: Emdipi Lima Tebege

Hari itu, kami bertujuh dipertemukan kembali setelah pada akhir Nopember lalu, saat sesi penandatanganan Surat Perjanjian Kerja. Komunikasi kami jalin semenjak bulan Nopember hingga hari pertama training (7 Januari 2013) melalui media aplikasi chat, whatsapp. Manusia-manusia MDP angkatan ke-5 ini variatif tipikalnya, namun tetap satu kata: RAME !

Berikut ini starting line-up nya.... 
William Seta Adriano.
Willy, begitu ia biasa dipanggil. Postur tegap dipadu rambut yang tak kunjung tumbuh, membuatnya menjadi plagiat dari Adriano, striker senior Timnas Brazil (eks Inter Milan). Namun dalam versi kulit yang lebih cerah. Jebolan Teknik Industri IT Telkom (dulunya STT Telkom) Bandung ini menghabiskan satu tahun setelah lulus di sebuah perusahaan telco terkemuka, sebut aja Hua*wei*
#NggakNiatNyensor

Meskipun berkuliah di Bandung, ia direkrut dari kota Jogja bersama seorang yang lain. Lahir dan tumbuh hingga SMP di Ungaran, sebuah kota kecil di Kabupaten Semarang. Mungkin orang tuanya mulai menyesal membesarkannya, sehingga waktu SMA ditendanglah ia ke Jogjakarta sehingga SMA 2 Jogja menjadi sasarannya.

Merupakan tipikal seorang yang menghanyutkan. Tidak banyak polah. Tetapi ketika dia mulai bersuara, logat khas Jowo Tengah-an nya kental terasa. Bahkan terkadang susah membedakan apakah dia sedang ngomong ataukah sedang nembang (melagukan nyanyian tradisional Jawa).

Ketika berpendapat atau bercerita di forum, kami selalu menunggu klimaks dari Willy. Entah itu klimaks dalam hal alur cerita, atau bahkan dalam nada bicara. Namun penasaran kami selalu bertepuk sebelah tangan, karena Willy selalu sukses membuat kami menyesal menunggu. Alur cerita dan nadanya selalu datar, panjang, lama, dan (seperti biasa) seperti sedang nembang.

Namun dari cara dia memandang masalah dan setiap kasus, mencerminkan bahwa dia adalah seorang yang taktis (karena pengalaman kerjanya) juga loyal terhadap teman.

Di MDP V ini, saya bersyukur bukan menjadi satu-satunya orang desa. Ada yang lebih parah rupanya. Desy Lis Rahmawati, namanya. Mengaku asal Malang (karena memang direkrut dari kota Malang), padahal asli Doko (daerah pegunungan di Blitar), Pemudi yang satu ini sangat mudah dibedakan dari peserta MDP V yang lainnya, selain karena berat badannya, dia satu-satunya yang memakai jilbab. Medok, rame, dan ceplas-ceplos, menjadi kesan pertama yang ia tinggalkan kepada setiap orang yang baru mengenalnya.

Selama program MDP V TBG berlangsung, dia memiliki pembagian waktu 24 jam sehari dengan sangat unik. Desy menghabiskan 10 jam di pagi-siang-sore-maghribnya untuk mengikuti training, sisanya dia habiskan malam dengan membagi rata untuk kegiatan mencari sinyal telepon seluler (yang konon sangat langka di kosnya) dan menangis meratap.

Maklum, dia mengaku baru kali ini jauh dari orang tua, keluarga, dan yang terberat: calon suaminya. Saya pernah membaca sebuah ungkapan unik dari seseorang tentang hubungan jarak jauh (LDR), kurang lebih seperti ini.....
"LDR itu tidak butuh modal banyak, cukup bermodal sinyal yang bagus"
Rasanya kurang bijak jika saya bacakan quote keren ini di depan Desy.

Jadilah dia satu-satunya yang sepertinya sangat menghayati kondisi Long-Distance Relationship yang sangat tipis bedanya dengan Long and Desperate Relationship.

Saya dulu pernah juga sih merasakan LDR. Saat itu, Maudy Ayunda memang lagi shooting film Perahu Kertas di Jakarta, sementara saya sedang berjibaku mengerjakan Tugas Akhir di Surabaya. :)

Di awal pelatihan, kami mendapat semua tool-kit dan beberapa ATK dari perusahaan, namun hanya ada satu barang yang membuat Desy senang bukan kepalang: KALENDER! Saking visionernya, dia sudah menandai juga menghafalkan kapan saja hari-hari "kecepit" Nasional lalu memproyeksikan tanggal penting untuk tujuan kepulangannya.

Satu lagi kebiasaan random dari Desy adalah selalu menanyakan "kalau mau kesini gimana?" dengan banyak sekali tujuan dan selalu berganti-ganti. Awalnya kami berpikir "kasian sekali ini anak, saking galaunya sampai nggak tahu tujuannya mau pergi kemana". Namun anggapan itu runtuh setelah kami tahu bahwa ia menanyakan itu agar dia paham dan bisa menjadi guide bagi teman-temannya yang mau main ke Jakarta. Keren bukan! :)

Akibat rasa ingin tahunya yang di atas rata-rata, dia menjadi makhluk yang cukup aktif dalam in class-training di minggu pertama ini.


Theresia Dwi Lestari Londong. 
Cewek satu ini produk Banyuwangi dengan sedikit suntikan darah Manado. Hadir dengan satu tekad bulat ke Jakarta, yakni untuk mengubur masa lalu demi merangkai masa depan dengan pria idaman, yang entah sedang berada di mana ia sekarang.

Rekan satu jurusan, bidang studi, lab, bahkan tim riset TA (dengan dosen pembimbing yang sama tentunya), sebenarnya membuat saya agak males mengupas tuntas aib eh maksud saya, identitasnya.

Penggemar berat Sudjiwo Tedjo ini merubah kewarganegaraannya menjadi rakyat Republik Jancukers. Jadi tingkah lakunya pun sangat berkaitan dengan idolanya. Rekan-rekan cewek di Jurusan kami dulu, Teknik Elektro ITS Surabaya, menganggap "kalo ngomong sama Tere itu anggep aja Tere itu tembok". Mungkin karena saking "lurus"-nya dia, seperti kuda liar yang diberi penutup di sisi kanan kiri matanya.

Ke"lurus"annya ini merupakan konsekuensi logis dari sifat dasar wanita yang satu ini, yakni berani. Ya. Berani yang kelewat batas. Bahkan rekan-rekan Telkom Elektro ITS menyematkan predikat WTW kepadanya.

*WTW=Wanita Tanpa Wedi (Wanita Tanpa Takut)*

Dia tak pernah takut mengatakan apa saja, kepada siapa saja, dalam kondisi apa, dan dalam cuaca bagaimanapun juga. Benar-benar WTW sejati! Sangat cuek, easy going, dan let it flow aja dalam hidupnya, membuatnya tampak santai meskipun jauh di lubuk hatinya ia merindukan seorang pangeran idaman dari negeri dongeng.

Dia selalu punya topik pembicaraan yang seperti api abadi olimpiade yang tak kunjung habis. Bahkan saking kaya dan semangatnya ngomong, seringkali dia meneruskan obrolan meski lawan bicaranya sudah tidak tertarik lagi. Di situlah salah satu letak "lurus"-nya dia!

Kebiasaan kami sepulang kantor, sembari berjalan beriringan (ini kata-kata apa ya??), kami mencoba menyimpulkan dan memilih quote-quote terbaik di hari itu dari semua hal yang kami temui di kantor maupun saat pelatihan. Lalu kami menuliskannya di sosmed sebagai "Quote of the Day". Jika Anda tidak siap menerima serangan sampah di timeline, maka jangan pernah follow akun twitter @TresyaLondong.

Keunggulannya, karena dia semacam tidak punya urat malu dan selalu penasaran, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dia kepada pemateri training ikut mencerahkan para peserta lain karena seringkali merupakan pertanyaan krusial dan yang menghidupkan forum.


Kontestan selanjutnya adalah Lucki Dwi Pristanto. Nama depannya memang cewek banget. Berbenturan dengan nama belakang yang cowok banget. Bisa menimbulkan ambiguitas yang menjurus pada pertanyaan gender: hermaphrodit-kah?

Pria Solo yang merantau ke IT Telkom Bandung ini memiliki karakter yang khas. Pendiam, pemikir, dan tampak sangat teliti dan tekun dalam mengamati keadaan. Besar kemungkinan dalam otak dan kediamannya ini dia merasa tertekan, tersesat, dan menyesal karena sedang mendapat cobaan dari Tuhan untuk "digodog" bersama manusia-manusia absurd dan penuh canda di MDP V ini.

Badannya tegap seperti Willy, namun lebih berisi. Dia yang punya inisiatif mengumpulkan kontak rekan-rekan MDP lain dan menghubungi satu persatu via sosmed. Diantara peserta yang lain, Lucki ini sangat konsisten dengan kebiasaan mencatat. Ketika yang lain mencatat di mana-mana, bahkan kadang juga cuma bengong, Lucki masih terus mencatat semua materi ke dalam buku agenda sampul hitamnya. Setiap saya menatap Lucki dalam segala sesi pelatihan, hampir tak pernah tangan Lucki terlepas dari pulpen yang terus bergerak di atas agendanya. Sempat saya berpikir,"mungkin dia sedang belajar membatik".

Namun seketika anggapan saya runtuh saat menengok catatannya yang sangat rapi itu. Kata demi kata dan rangkaian kalimatnya berjejer rapi sekali macam pager Kabupaten. Mungkin dia punya masa lalu sebagai Carik alias Sekretaris di desanya di Solo? Saya kurang tahu pastinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu, biarlah ini menjadi misteri Illahi. Warna vokalnya yang berat, membuat dia lebih pantas berprofesi sebagai penyanyi bass seperti Bebi Romeo, belakangan kami tahu bahwa dia lebih handal melantunkan lagu campursari-an ala Didi Kempot.


Awalnya, saya selalu khawatir jika nanti di program ini mendapat predikat "Peserta Terkurus". Namun saya diselamatkan Tuhan melalui Octiana Widyarena. Alhamdulillaaaaaahh...

Nena (panggilan tidak akrabnya) melengkapi formasi rekrutan dari kota Surabaya menjadi tiga orang dan membawa kami sebagai kota dengan kontestan terbanyak. Dia adalah satu-satunya yang kami khawatirkan ketika cuaca Jakarta yang sedang dipenuhi dengan angin-angin kencang setiap harinya. Di sisi lain, keberadaannya di dalam lift tidak pernah menimbulkan overload.

Selain predikat tersebut, Nena juga sukses meraih gelar sebagai peserta MDP dengan harga kos yang termahal dengan fasilitas terminim. Sangat menyesakkan di dada baginya ketika kami sedang diskusi tentang kos-kosan.

Tidak jauh beda dengan Desy, cewek yang satu ini sedang dalam proses pencarian jati diri dengan menjalani sebuah hajat dan langkah besar yang pertama kalinya dalam hidupnya: MERANTAU. Hanya saja, ia tidak terjebak dalam kemelut LDR, karena memang......... (nggak tega ngomongnya). 

Basic ilmunya adalah telekomunikasi multimedia dari institusi dan lab yang sama dengan saya dan Tere. Selain tulisan tangannya yang miring-miring, hal yang khas dari Nena adalah nada bicaranya yang selalu tampak seperti orang yang superjutek melebihi ibu tiri di belahan dunia manapun. Kata orang ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Namun bagi saya, nada bicara Nena jauh lebih kejam dari itu semua.

Pernah dibesarkan di Kendari, dia bercita-cita menjadi MFO di kota tersebut guna membuktikan baktinya kepada kota yang pernah membesarkannya.

Lanjut....
 

Dewasa ini anak-anak muda seperti mendeklarasikan diri (secara tidak langsung) "Kalau nggak buka facebook/twitter/instagram sehari rasanya hidup kurang berwarna". Namun hal itu tidak berlaku pada pemuda yang satu ini: Happy Hamengku Cakra Widya. Sama dengan yang ada di benak kalian, kami juga mengira dia masih ada kaitan darah dengan Cakra Khan, si pelantun tembang "Harus Terpisah".
*lagu yang harusnya berjudul "Lomba Marathon" karena liriknya penuh cerita kejar mengejar "ku berlari kau terdiam....."
#abaikan

Cakra ini lahir di Banyuwangi. Karena dia dan keluarganya menganggap pendidikan di sana tidak memiliki prospek cerah, maka dibuanglah anak ini ke kota Jember dari TK hingga SMA. Tenang, dia bukan nge-kos dari TK, tetapi memang ada saudaranya di sana.  Begitu mahasiswa, dia melabuhkan pilihan pada IMT. Bagi yang kurang paham, IMT ini satu yayasan dengan IT Telkom Bandung (di bawah manajemen PT. Telkom Indonesia). Bedanya, ITT lebih kepada bidang tekniknya, sementara IMT berkonsentrasi ke arah manajemen bisnis telekomunikasi.

Dia layaknya manusia purba yang tak mengenal facebook, twitter, instagram, line, whatsapp (update terakhir, Cakra sudah install WhatsApp), bahkan friendster. Semula kami mengira Banyuwangi adalah salah satu daerah blind spot yang tak terjamah sinyal seluler dan internet. Anggapan kami runtuh seketika karena Tere ternyata tidak se-purba Cakra.

Bersyukur dia masih mau membuat akun email. Dan setelah penerawangan jauh melalui pertapaannya, ia memutuskan untuk menggunakan media blackberry sebagai gadget-nya.
*sekarang telah berpindah ke yang lebih 'wah', meski hasilnya sama saja baginya --> Iphone

Awalnya peserta MDP V ini memang bertujuh, namun ternyata ada satu personil, yakni Cakra, yang ternyata telah dipanggil terlebih dahulu (dari rekrutan Bandung) untuk menjalani OJT lepas. Karena dia lebih dahulu berada di TBG daripada yang lainnya, dia punya link yang luas dan hampir semua orang sudah mengenal pemuda tegap nan ramah ini. Itulah salah satu pertimbangan besar kami mengangkat dia menjadi Ketua Kelas. Gayanya yang santai, ceplas-ceplos, juga atraktif sangat mudah bagi siapa saja untuk menandai perangainya. Namun cukup susah membedakan dia dengan penghuni Alas Kedaton yang juga lincah kesana kesini.

Seperti Willy, selama training, karena beberapa pengalamannya, ia sering melontarkan pertanyaan atau membuka diskusi dengan topik studi kasus permasalahan di lapangan. Kebiasaan yang seakan menjadi hukum alam bagi hidupnya adalah: terlambat. Kami seakan punya patokan, jika kami datang setelah Cakra sudah di ruangan, maka kami lah yang telat, jika tidak maka itu sudah wajar.

Tanpa bermaksud SARA, ketujuh peserta di atas secara kebetulan sangat fasih menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian, karena memang sesuai daerah asalnya. Semula kami mengira peserta yang satu ini adalah asli berdarah Jakarta. Warga Condet bernama Sofiet Isa Mashuri Setia Hati ini ternyata lulusan Elektro UGM dan berdarah Madiun.

Jangan heran jika kami berkumpul, bahasa persatuan kami menjadi Jawa, tentunya ini saat di luar kegiatan training. Sofiet ini memiliki riwayat nama yang lucu. Awalnya, ia terlahir dengan nama Sofie. Saat sudah beranjak ke umur tertentu (saya lupa pastinya), ayahnya sadar bahwa nama anak ini kok ke-cewek cewek-an. Akhirnya, orang tuanya menambahkan satu huruf agar lebih tampak macho.

Jadilah nama Sofiet tertera di Akta Kelahiran bocah satu ini.

Yang paling diingat dari pria satu ini adalah flu yang berkepanjangan hingga tulisan ini dibuat. Sakunya selalu terisi tisu untuk mengusap.......(ya Anda tahu lah yaaa apa itu). Jarak Condet ke kantor kami adalah setengah jam menggunakan motor dalam keadaan jalan sepi tanpa pengguna dan tanpa hujan turun. Berhubung kantor kami tepat di jantung Jakarta (Sudirman), maka bisa jadi waktu dua jam dia habiskan di jalan.

Belum lagi saat pulang. Jam kantor kami adalah sampai 17.30 (secara teori). Pada jam tersebut, jalan-jalan utama di kota ini bukan lagi nampak seperti jalan biasa, malah menyerupai pasar malam yang padat pengunjung. Keadaan bisa semakin memburuk jika ditambah hujan dan bisa jadi saat Sofiet berangkat kerja dengan berdandan tampan, pulang-pulang telah tumbuh jenggot di dagunya. Bahkan mungkin jika pemerintahan Jokowi belum juga mampu merubah keadaan ini dalam 5-10 tahun lagi, bisa jadi saat Sofiet berangkat kerja dan berpamitan dengan Sang Istri di pagi hari, ia akan mendapati istrinya sudah melahirkan dua orang anak saat ia tiba di rumah karena saking lama macetnya.
*okeee, mulai lebay

Logat Sofiet sangat halus khas Jogja, 11-12-13 dengan Willy dan Lucki. Nada bicaranya yang tenang dan ketaktisannya dalam menangkap materi seringkali menambah warna dalam hidupnya diskusi di hari-hari pelatihan kami.

Itulah ketujuh orang yang polah dan ramenya selalu ngangenin ngeselin.
So glad to have a new great family like you, guys! :)

3 comments:

  1. salam...

    hehe ketawa baca line yg ini --> "LDR itu tidak butuh modal banyak, cukup bermodal sinyal yang bagus"


    omnivoreme.blogspot.com


    NB : tombol follow-nya di mana ya ini? :)

    ReplyDelete
  2. Punya cakra bisa di update ya hahaha

    ReplyDelete