November 16, 2010

Idul Adha: Masehi versus Hijriyah.......?

Selamat Hari Raya Idul Adha bagi seluruh pembaca yg merayakan....


Tulisan ini sengaja dibuat bukan untuk menggurui, menimbulkan perpecahan, memihak kubu tertentu ataupun menyalahkan pendapat yg lain.
Juga bukan diperuntukkan kepada golongan tertentu, namun lebih kepada pewacanaan kepada khalayak secara luas.


Gagasan akan tertulisnya note inipun murni dari kebimbangan dan kegelisahan penulis atas hal yg seharusnya mampu kita sikapi dg lebih dewasa dan ilmiah.
(*) Coretan inipun banyak disadur dengan beberapa perubahan dari beberapa sumber dari media massa baik cetak maupun elektronik.



Saudaraku, seringkali di Indonesia terjadi perbedaan pendapat tentang waktu ibadah, baik sholat maupun puasa bagi pemeluk agama Islam.
Penentuan waktu hari raya maupun bulan-bulan tertentu juga sering menimbulkan pembahasan yg tidak kalah serunya dari pembahasan kasus Gayus Tambunan.
Bahkan silang pendapatnya bisa lebih alot daripada perang idealisme yg dilontarkan para Pimpinan Negara dalam Pertemuan G-20.
Namun dalam perbedaan pendapat ini, masing-masing haruslah memiliki dasar yg kuat disertai pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Mahakuasa.

Perlu diketahui, waktu ibadah dalam Islam (seperti shalat dan puasa) bersifat lokal, semestinya juga dalam Idul Adha mengacu pada waktu setempat (Indonesia).
di Saudi Arabia, Idul Adha sehari setelah wukuf adalah suatu kepastian, namun untuk wilayah lain perlu diperjelas lagi, sebab bumi ini tidaklah datar.


Ada yang secara mudah mendefinisikan bila wukuf di Arafah jatuh hari Senin maka Idul Adha jatuh hari Selasa untuk seluruh dunia dan termasuk di Indonesia tanpa memperhatikan hari itu 10 Dzulhijjah atau bukan.
Sejauh ini, belum ada keterangan pasti yang dapat dijadikan landasan pendapat ini, selain mengikuti kelaziman hari dalam definisi syamsiyah (Masehi) dalam kalender umum.


Saudaraku, kita mengenal banyak jenis sistem penanggalan dunia.
Dua diantara yg paling kita tahu adalah sistem penanggalan Masehi (atau Syamsiyah) dan juga sistem penanggalan Hijtiyah (atau Qomariyah).
Sistem Masehi adalah sistem penanggalan yg sampai saat ini seragam digunakan oleh negara-negara di dunia dalam aktivitas sehari-hari.


Sedangkan sistem Hijriyah adalah yg sering digunakan oleh umat Islam sebagai patokan waktu ibadah.
Garis penanggalan pada sistem Masehi didasarkan pada patokan garis bujur timur atau garis bujur barat 180 derajat.
Dalam sistem penanggalan ini, daerah yg memiliki garis bujur sama atau berdekatan mulai dari kutub utara hingga kutub selatan akan selalu memiliki hari yg sama.
Perubahan hari dimulai pada pukul 00.00.
Maka dg sistem tersebut, bisa dipastikan bahwa daerah yg lebih timur akan lebih dahulu waktunya jika dibandingkan daerah di baratnya.
Karena itu, dalam sistem Masehi, waktu di Jakarta atau waktu Indonesia Barat selalu empat jam lebih dahulu dibandingkan waktu Mekkah.


Namun, sangat berbeda dengan sistem penanggalan bulan, atau yg kita kenal dg sistem Hijriyah.
Garis penanggalan bulan memiliki 235 variasi.
Setiap bulannya, garis penanggalan bulan berbeda-beda.
Garis penanggalan bulan akan kembali dekat tempat yg sama sekitar 19 tahun kemudian.
Banyaknya variasi garis penanggalan bulan ini ditentukan oleh posisi bulan terhadap bumi dan posisi sistem bumi-bulan terhadap matahari.
Daerah pertama kali yg melihat hilal akan mengawali hari lebih dulu.
Artinya, daerah yg terletak dalam garis bujur yg sama ataupun berdekatan, hari atau awal bulan Hijriyahnya bisa berbeda.
Hari dimulai setelah matahari terbenam atau maghrib, bukan pada pukul 00.00.


Kondisi ini yg membuat Jakarta tidak selalu lebih dahulu dibandingkan Mekkah dalam sistem Hijriyah.
Asumsi, jika hilal pada bulan Dzulhijjah kali ini pertama kali dilihat di Mekkah, maka sesudah maghrib (sekitar pukul 18.00) di Mekkah sudah masuk bulan baru.
Nah, saat itu di Jakarta sudah pukul 22.00 WIB.
Baru pada maghrib keesokkan harinya, Jakarta memasuki bulan Dzulhijjah.
Maka dapat dikatakan, bahwa pada bulan Dzulhijjah kali ini, waktu Jakarta tertinggal 20 jam dibandingkan Mekkah.


Menurut pakar Studi Astronomi salah satu Institut ternama yg juga merupakan anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, Moedji Raharto, dalam penanggalan Hijriyah, waktu di Indonesia bisa jadi lebih dulu daripada Saudi Arabia, namun bisa jadi pula waktu Saudi Arabia lebih dulu dibandingkan Indonesia.
Hal yang perlu diperhatikan, melaksanakan Idul Adha di Indonesia dalam sebuah contoh kasus bisa saja disebut mendahului, bukan mengikuti Arab Saudi.


Dari segi waktu shalat Idul Adha, pasti mendahului, ketika di Indonesia melaksanakan shalat Idul Adha pukul 07.00 WIB, di Arab Saudi masih sekitar pukul 03.00 dini hari.
Waallahu A'lam.


Perbedaan awal hari Hijriyah inilah yg sering dipahami secara salah oleh beberapa kalangan masyarakat.
Konsep penanggalan Hijriyah dan Masehi inilah yg seringkali dicampuradukkan sehingga menimbulkan kerancuan.
Tidak ada yg salah dg perbedaan dan segala yg kita punya.
Yang salah hanyalah yg tidak mampu menghormati dan menyikapi pendapat lain secara bijak.
Yang salah hanyalah pendapat yg tidak memiliki dasar yg kuat dan yg mampu dipertanggungjawabkan kepada-NYA.
Wallahu a'lam bishawab.


Semoga menginspirasi.




(*) sumber:
1. Artikel M. Zaid Wahyudi (Harian Kompas)
2. Blog pribadi M. Rofiq, Lc (Anggota AFDA--Association of Deep Analysis Falak Mesir)
3. Keterangan dari Mudji Raharto (Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI)
4. Keterangan Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional--LAPAN)
5. Sumber-sumber lain
6. Pandangan penulis

No comments:

Post a Comment